Jumat, 20 Desember 2013

Untuk hati yang dikembalikan

Sudah lama tidak berjumpa, Sebelum kita bersalaman di bawah pohon itu aku gugup takut bertemu denganmu. Aku rindu dengan semua tingkah lakumu. Sebelum rabu, aku sudah uring-uringan di rumah menuntun semangat pasca program pengajaran lapangan (PPL). Setiap malam merenungi apa yang sampai hari ini tak pernah aku renungi.
Kau bilang aku egois. Maka, itu semua aku perbaiki untukmu dan untuk kebaikanku. Kini aku tahu, kau menjauhi apa yang patut kau jauhi. Aku mungkin sangat memuakkan untukmu. Mungkin pula merusak keseimbangan hidupmu yang sejak dahulu selalu stabil. Ya. Kau benar akulah si biang kerok.
Entah sampai kapan rasa ini selalu begini, Kau mungkin terus merasa bersalah. Sedang aku semakin ingin mengejarmu. Siapa yang menyangka seorang Maya mampu sejauh ini mengejarmu, tak ada kapok-kapoknya bahkan tak ada rasa bosan-bosannya sedang kau selalu menutup celah untuk rasaku masuk. Sungguh ironis.
Kata seorang teman, aku bermental pejuang. Kata seorang teman pula aku bertindak layaknya wanita murahan. Biar saja! Sampai hari ini aku menutup telinga untuk itu. Yang aku tahu dan entah apa pula sebabnya aku sangat menyayangimu.
Aku sering menangis karenamu, sedang kau saja tak pernah menyakitiku. Sering pula terpuruk dan tak bersemangat karenamu, sedang kau saja tak pernah muncul bahkan berkata buruk apapun tentangku. Lantas apa yang bisa membuatku seperti itu? Semua akan aku jawab, bahwa mencintaimulah adalah satu-satunya alasan itu semua.
Ya. Aku mencintaimu. Cukup terdengar berlebihan bahkan seperti rayuan gombal. Aku cukup tak mempedulikan segala bentuk komentar segala penjuru. Aku ini jalang dan akan terus meradang dan menerjang. Itu kata chairil anwar. Aku tak cukup mampu basa basi juga tak sanggup jika terus menjadi benalu. Maka, aku diam dan bersembunyi dari keberadaanmu, hanya untuk memperhatikanmu dari jauh dan terus mengagumimu secara diam-diam.
Seorang dosen mengatakan padaku bahwa mencintai adalah mengagumi dengan hati, sedangkan mengagumi adalah mencintai dengan pikiran. Pernyataan itu hingga hari ini tak bisa ku identifikasikan dari rasaku padamu. Ini terlihat menggebu dan aneh.  Yang ingin kusampaikan padamu adalah  bahwa rasa ini bukan rasa pelarian, ini rasa yang sangat masif, entah kenapa.
Banyu, lihat lah ini dekap di sini, lebih dekat agar kamu benar-benar merasakan rasaku. Dan ini bukan kebohongan semata. Mendapatkan rasa ini tak akan pernah aku sesali, karena Tuhan sangat baik memberikan rasaku ini kepadamu. Orang yang tak pernah kuduga ada.

Selamat Tinggal

Untuk hati yang dikembalikan

Selasa, 29 Oktober 2013

SURAT TERAKHIR UNTUK BANYU

Dear      : Banyu

              Aku berjalan perlahan dalam ketidaktahuanku. Katamu hari ini kamu kecewa. Bukan hari ini, tapi kemarin. Dasar kamu “Kepala batu”. Huh, demikian katamu. Sedang aku menahan tangisku selepas membaca smsmu. Kata-kata yang kamu racik semanis dan sesopan mungkin di depanku, padahal kamu hanya ingin mengatakan bahwa aku kepala batu.
               Maaf, jika aku lancang membuka kotak pandoramu. Aku tak ada maksud untuk berbuat demikian. Kamu yang selalu tertutup dan takut dengan keberadaan “kita”. Aku lancang atas semua. Dan, sangat wajar jika kamu kecewa.
               Sejak beberapa bulan lalu memang aku sering bermain sendiri. Kamu yang selalu kuajak nampaknya lebih asyik melihat aku bermain sendirian. Di bawah pohon itu kamu hanya senyum padaku dan mengatakan,” kalau ingin bermain, bermain sendiri yah, aku tak bisa ikut main. Aku lelah dan inilah aku.” Permainan ini aku buat, aku rancang semenarik mungkin agar kita bisa memainkannya berdua. Maksudku adalah aku ingin menghiburmu atas rasa gundahmu. Aku tahu kamu murung hari ini, lantaran kamu ditinggal bermain oleh teman-temanmu dalam permainan lain. Maka, hari ini aku khusus membuat permainan untuk menghiburmu agar kita yang sama-sama murung bisa menemukan senyum kembali atas ketertinggalan kita.
               Namun,  nampaknya kamu enggan bermain denganku. Kamu menyuruhku untuk bermain sendiri bahkan menyuruhku untuk menunggu seseorang yang hingga hari ini aku pun tak tahu untuk menemaniku bermain. Sedangkan, tahukah kamu bahwa permainan ini ku buat hanya untuk kamu dan aku bukan mereka atau yang lain.
               Banyuku saat engkau duduk di sana, aku memang sering lancang meninggalkan permainan ini, hanya untuk bertanya pada temanmu di seberang sana. Aku ingin tahu bagaimana cara meluluhkan kegundahanmu dan mengembalikan semangatmu lagi untuk bermain. Namun, kamu malah memarahiku. Kamu bilang aku lancang dan mengecewakan. Beberapa kali aku bertanya padamu, apa yang membuatmu gundah tetapi kamu enggan menjawabnya. Maka, salahkah aku jika aku mencoba bertanya pada temanmu?
               Aku memang pandai menari, aku pun pandai bernyanyi, Aku juga selalu tersenyum. Tetapi semua itu menjadi tak berguna ketika aku hari ini tak bisa menghiburmu dan tak bisa mengajakmu untuk kembali semangat dalam permainan ini. Banyuku sayang, yang gandrung atas kesendirianmu. Aku minta maaf atas segala kelancanganku. Esok hari mungkin aku tak akan muncul lagi di halaman rumahmu. Namun, gambar permainan yang aku ukir di halaman rumahmu bisa kamu mainkan sendiri jika kamu mau. Aku berikan permainan itu kepadamu, semoga kamu mau memainkannya dan bersemangat kembali walaupun kelak yang kamu ajak bermain pasti bukanlah aku.
               Aku pamit Banyu. Ketika pintu tertutup, maka aku tak akan memaksa pemiliknya membuka, kecuali pemiliknya mempersilahkan aku masuk. Yang senantiasa mendoakanmu. MAYA

Kamis, 19 September 2013

Happy Wednesday

Happy Wednesday
Aku diam diam menyembunyikan bahagia
                Sudah pukul 17.00, murid-muridku nampak masih ingin menyelesaikan film yang aku putar pada kelas jurnalistik. Sesekali aku bertanya,” masih ingin lanjut?” tanyaku.
                “Masih kak,” jawab mereka serentak.                                      
                Di kelas tersisa 4 orang anak yang menunggu jemputan, selebihnya sudah ijin pulang karena sudah dijemput supir ataupun ada kegiatan pelajaran tambahan di luar. Aku sedari tadi gelisah menengok jam tangan, handphoneku pun tak ada sinyal. Aku khawatir tidak akan bertemu Banyu hari ini. Banyu janji akan menungguku pulang sekitar jam 4 di kampus. Aku takut Banyu pulang. Pasti aku kecewa jika Banyu pulang. Hari ini akan menjadi hari yang tidak menyenangkan. But, I am lucky girl. I am happy every Wednesday. I can meet  dan talk about everything  with him. Thanks God.
                Langkah kaki kupercepat, Akhirnya aku temukan dia sedang asyik menikmati rokok di sela-sela jarinya bersama kawannya di bawah pohon itu. Senja itu cukup manis, kami memang tak saling tatap, bercengkeramah seperti biasa tetapi jarak kami dekat dan sangat lama. Hingga senja muncul dan terlihat sangat indah. Aku hanya tersenyum dalam hati dan menyimpan bahagia dalam hati.
                Ah Tuhan aku mohon perlambatlah waktu aku ingin berlama-lama dalam posisi ini. Walaupun kita tak berdua tapi dia sangat dekat.Aku sangat puas menatapnya. Di sana ada salah satu teman angkatanku dan juga senior yang juga dekat denganku. Kita berempat saling bercengkeramah dengan santai di senja itu. Fokus ku jelas bukan pada kedua temanku itu, tetapi fokusku ada di hadapanku. Laki-laki dengan kulit sawo matang berbaju coklat dan tampak selalu misterius dan biasa. Ya, aku sangat sangat puas saat itu. Ingin kupotong jarak satu meter ini hingga kita bisa sangat dekat.
                Hingga senja pun kembali pulang, akhirnya sekitar jam 7 malam kita bergegas pulang. Jelaslah ini waktu yang aku tunggu-tunggu. Bisa berdua pulang dengan Banyu. Aku jadi ingat pertanyaan seorang kawanku.
                “Kenapa si May setiap hari rabu pasti lu seneng banget?”
                “Bisa ketemu Banyu,”jawabku.
                “Emang apa kelebihan Banyu lo itu si, sampe lu kaya begininya klepek-klepek,” tanyanya lagi.
                “Mmm..karena dia biasa ajah.”
                “Apa sih gak jelas lo.”
                “Ya,karena dia biasa ajah. Dia itu pas deh pokoknya. Kepribadiannya pas. Gak lebay. Biasa ajah. Penampilannya juga pas. Biasa ajah. Dan pokoknya dia biasa ajah. Gak banyak gaya, gak berlebihan. Semua serba pas. “
                Mungkin temanku heran bahkan tidak mengerti apa yang aku maksud. Namun, yang jelas untuk yang satu ini aku menakarkan rasanya dengan pas. Aku tidak intens sms dia, karena aku tahu dia pasti punya kesibukkan lain. Aku hanya senang menatapnya kemudian mendengar suaranya. Selebihnya aku tak mengharapkan apapun. Karena aku tahu, rasa tidak mungkin dipaksakan. Maka, saat ini aku membiarkan ritme rasa tetap stabil. Tidak berlebihan tetapi kadang penuh kejutan.
                Kuakui aku tak setenang dirinya, aku kadang ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa aku aku sangat menyayangi Banyu.Siapapun itu aku tidak peduli. Namun, urung niatku ketika aku tahu bahwa prinsip Banyu tidak seperti itu adanya. Akhirnya sampai hari ini aku diam-diam menyembunyikan bahagia di balik sebuah senja yang selalu kita tatap tetapi tak dapat kita utarakan.
                Senja ini senja milik Banyu. Jika suatu saat Banyu memilih untk pergi meninggalkan Maya itupun tak apa. Karena rasa bukan dogma, bukan undang-undang. Rasa itu bebas. Maka, aku menghargai apapun keputusan Banyu. Yang tak bisa bersamaku. Walau begitu, rasa sykur ku kepada Tuhan tak akan henti henti kupanjatkan karena mencintai Banyu bukan batu loncatan, bukan pelampiasan. Mencintai Banyu adalah mencintai air. Air yang dibutuhkan semua orang. Air yang tak bisa dipatenkan. Seperti itu aku mencintai Banyu.
                “Emang lu maunya Banyu gimana May?” tanya Fauza.
                “Tidak ada,” jawabku.
                “Lah lu suka masa gak mau jadian si?”
                “Tujuanku adalah mencintai bukan dicintai. Mencintai itu hak tetapi dicintai adalah bonusnya. Aku tak pernah paksakan apapun. Aku hanya ingin dibebaskan mencintai. Jika suatu saat Banyu pun membalas rasa itu, tentu bahagia sekali hatiku. Namun, itu bukan satu-satunya tujuan.” Jawabku.

                Dan selamat hari rabu Banyu. Aku sayang kamu J

Minggu, 15 September 2013

Aku menemukan ini

234
Suatu hari ku lihat tiga orang pemuda sedang asik bicara dengan temannya
Ku lihat terselip sebatang rokok disela-sela jarinya
Kosong, djisamsu
Oh DJISAMSU, kau temanku..
Oh temanku yeahhh Kau Djisamsu
Rokok ini memakai tembakau berkualitas tinggi
Dengan tembakau Madura yang harum baunya dan tembakau nusantara yang harum dicampur dengan cengkeh terpilih.
Yang caranya halus dan harus khusus yang sama dari generasi ke generasi
Upaya sejarah cita rasa tinggi tetap terjaga
Pembuatan rokok ini dilakukan dengan teliti
Menghisap rokok ini segera tau bedanya
Rokok ini bila disimpan lebih lama akan menambah rasanya lebih enak
Oh DJISAMSU, kau temanku..
Oh temanku yeahhh Kau DJISAMSU


Ini puisi orang, sayang jika tidak dipungut dan diarsipkan. With Banyu :)

Kamis, 12 September 2013

Surat untuk Banyu

Banyu dengan Rasa Green Tea
“sebagai prelude aroma bisa hilang tapi susah dilupa”

Saya kenal sekali parfume ini, dulu ketika semester 3 dan 4 pernah menggunakannya juga. Parfume aroma green tea melekat di jaket Banyu.  Baru seketika duduk di atas motornya, rasanya saya ingin sekali langsung memeluknya dan mengatakan “Hey, pria menyebalkan berapa kali kamu membuat saya gundah lantaran menahan nahan rindu ini”. Ah, tapi tidak-tidak itu terlihat sangat norak. Sebelas September yang tidak mudah dilupakan begitu saja. Saya harus berpura-pura meminta pulang bersama sekadar nebeng. Padahal, hari itu jelas-jelas saya rindu dengannya. Sangat rindu.
“Mau ke PGC?” tanya Banyu.
“Iya, mau beli sesuatu dulu,” jawab saya.
“Jam berapa sih sekarang?” tanyanya dia lagi sambil mengendarai motor
“Jam tangan saya terlalu cepat, kalau jam tangan kamu.” Tanya saya.
“Ini tekan ajah biar nyala.” Suruhnya singkat.
Degup jantung saya tiba-tiba berdetak cepat. Saya ingin turun dari motor dan seketika teriak mengatakan “SAYANG BANYU”. Ah tidak itu terlalu berlebihan. Saya hanya gugup jika harus menyentuh tangannya. Karena jujur sampai hari ini, saya masih takut dan gugup jika berada di dekatnya. Entah kenapa.
“Oh, jam 08.00.” jawab saya staycool.
Hah, entahlah kenapa saya sangat  merindu dan selalu merindu. Padahal, kenangannya pun belum terlalu banyak. Jika pertanyaan Banyu diulang kembali kepada saya mungkin saya akan menjawab dengan hal yang sama pula.
“Kenapa mesti saya?” tanya Banyu
“Saya juga tidak tahu. Kadang ada jawaban yang memang sengaja tidak bisa diucapkan tapi cuma bisa dirasakan. Yang saya tahu saya sayang kamu sekarang.” Jawab Maya.
Biar ini hanya prelude, ini hanya penggalan, bahkan aroma bisa hilang dari balik jaketnya. Namun, kini saya sudah punya parfume itu untuk obat perindu malam ini. Yang langsung saya beli di PGC malam itu.

Jika waktu adalah ulangan
Maka aku bersedia untuk selalu remedial
Biar terlihat salah di mata kamu
Biar terlihat tak memenuhi standar kompetensi
Namun kamulah satu-satunya guru
Yang mampu membuat perencanaan dan mengajarkan

*Salam sayang selalu Maya*

Senin, 02 September 2013

tengtong. TAMU TAK DI UNDANG

Tamu itu bernama ketenangan. Sudah tenang rupanya jiwa ini setelah stahun yang lalu selalu saja mengeluh dan menggerutu. Terimakasih Tuhan. Maaf dulu sering mendengar cacian, kini benar-benar tidak ada lagi. Saya sangat mendukung apapun takdir Mu terhadap saya. Ternyata, seperti ini menjadi tenang. SYURGA sekali mendapat kabar gembira dari kamu. 


Selamat yah buat kamu ; )
semangat banget jadinya buat melangkah.
Ternyata ini pangkalnya toh. Begini toh. Asik juga yah begini.
SYURGA SYURGA SEKALI KEADAAN BEGINI 

ALLAH SWT makasih
MAMA makasih
BAPAK makasih
TETEH dan BARI makasih
COMEL makasih
ANY SEMBIRING KOSAN makasih
ALINA makasih
MURID-MURID LABSCHOOL makasih
GURU-GURU LABSCHOOL makasih
BANG EKA makasih
DESMON makasih
ROSE makasih
CYMBE makasih
INDRA makasih
SEJARAH REG 2009 makasih
DEA makasih
MY INCOME Crew makasih
MAS IDRIS makasih
RAFFI, REYHAN, INDIRA (murid private) makasih
KROCO EKA makasih
AGUS makasih
GRAMEDIA MATRAMAN makasih
ANAK TRAX and PENYIARNYA makasih
DUFAN makasih
ANYER PISITA COTTAGE makasih
ALUMNI 50 makasih
MURID-MURID 67 makasih
GURU-GURU 67 makasih
BUNDA, MAMI, SYILLA, ACA, EL makasih
OM Ismail, MIMI makasih
NENG AYU makasih
ANAK-ANAK Didaktika makasih
KAK UCA Makasih
BILLY Makasih
STB makasih
BOS HENDRO makasih
PEMBELI BONEKA DANBOO Makasih
INUL VISTA makasih
RYAN OCTA makasih
DEDE AZWAR makasih
RURI makasih
GOZI makasih
FERDY makasih
KELUARGA BESAR MBAH AZAM makasih
KELUARGA BESAR KONG ALI makasih
FASTWORD PUBLISHING makasih
LAPTOP ASUS AKU makasih

TERAKHIR BUAT BANYU MAKASIH :) 

Jumat, 30 Agustus 2013

curhat asal-asalan

Hari ini tangis bukan penyelesaian. Tapi, menangis itu manusiawi. Tuhan udah benar-benar membuka hati gue. Dia bener-bener menunjukkan secara perlahan. Daripada keluar rumah, sejak setahun yang lalu, gue emang lebih suka menikmati kamar atau rumah. Gue takut dengan matahari. Gue takut dengan bulan, angin dan benda-benda jahat lain di luar sana. 

Gue yang sudah biasa sendiri, kini semakin sendiri. Anehnya kalau lagi ngumpul sama temen-temen, gue suka keliatan seperti orang yang paling bahagia dengan suara ketawa gue yang super duper besar, atau sekedar lelucon yang sama sekali untuk menghibur diri sendiri. Ya, gue adalah makhluk yang paling introvert sebenernya. Suka memendam apa yang menurut gue gak usah diceritain. Walau kadang, sebenernya gue juga pengen ngeluhin semua masalah gue.

Dulu, pernah ada orang itu, tetapi sekarang gue tau dia udah pergi. Dia udah bahagia dengan pilihan hidupnya. Jadi, mungkin kalau dia baca tulisan gue, dia adalah orang yang paling tahu kenapa gue begini. Ya, seharusnya. 

Gak masalah sebenernya dengan kesendirian gue ini. Gue menikmati itu semua. Yang paling penting, gue gak mau ngecewai keluarga gue untuk yang kedua kali. Menarik nafas itulah salah satu tindakan pertama gue ketika gue mulai lelah dengan semua ini. Buat lo yang sekarang udah bahagia, kalo lo baca tulisan ini, mungkin lo harusnya bisa lebih bijaksana dan bisa lebih arif membaca setiap tulisan gue yang sekarang udah lo anggap sampah. Segala bentuk janji, itu semua udah gue kubur. Karena gue tau satu-satunya yang mampu menepati janji adalah Tuhan.

Memang kadang gue terlalu terlihat tolol, sampai mampu sejauh ini menunggu orang yang memang sudah jelas-jelas membenci. Beberapa orang yang datang dan menawarkan untuk menjadi teman, dengan terang-terangan gue TOLAK! Terlalu bodoh mengilhami apa yang kadang udah gue jadiiin KREDO!. 

Kadang kita suka lupa, bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatunya secara bernegasi. Seperti mencintai dan membenci. Jika, tahu akhirnya akan berujung negatif seperti ini, gue memilih untuk tidak pernah memnerima dia masuk ke kehidupan gue dulu. Dia membenci. Sedangkan gue gak tahu apa yang dia benci dari gue. Jika dilihat ini adalh cinta luar biasa. Sebenernya ini bukan cinta. Tapi ini kebencian. Kebencian dia pada masalalunya yang mengakibatkan gue untuk terjun langusng menyembuhkan, sedangkan ketika dia sudah sembuh, dia bisa mencari lagi apa yang dia mau. 

Perempuan, adalah satu-satunya tokoh yang merugi DALAM PERCINTAAN. Dia luka, dia akan membekas. Identik dengan perasaan. Nah, ini juga yang gue rasakan. Sekarang, tinggal bekasnya saja yang susah sembuhnya. Luka gak bakal pernah sembuh. Gak akan hilang menjadi seperti semula. Yang bisa gue lakuin adalah ikhtiar. Walaupun gue gak pernah menunjukkan kealiman gue, tetapi gue masih percaya bahwa Tuhan selalu bersama gue. 

Waktu yang kadang gak pernah gue sisihkan Kepada-Nya. Sekarang sebisa mungkin gue berkomunikasi kepada-Nya. Ini proses pendewasaan yang sebenarnya. Secara nyata gue emang sendiri, tetapi secara batiniah Tuha  selalu nemenin gue, dan secara terang-terangan Tuhan menunjukkan bahwa janji lo yang dulu bener-bener udah lo ingkarin. Dengan begitu selesai sudah semuanya. Gue gak perlu cemas dan resah selalu menunggu. Gue siap menatap matahari lagi. Di dunia luar nanti, gue akan lebih berhati-hati bahwa janji itu BUKAN BARANG BIASA, TETAPI IKRAR. 


Dan bagi Banyu. Orang yang kini gue sayangi. Gue gak pernah memaksa. Gue meletakkan lo bukan sebagai sebuah keinginan semata yang suatu saat bisa ajah gue buang. Tetapi, Banyu adalah air. Dia adalah sebuah kebutuhan. Kebutuhan buat gue, keluarganya bahkan teman-temannya. Dan suatu saat gue yakin Banyu akan bahagia dengan wanita pilihannya. Tuhan terimakasih, walau kini gue tetaplah Maya yang sendiri, tetapi gue cukup bahagia karena bukan tercipta sebagai Maya yang menyakiti makhluk lain :) Karena Maya diciptakan Tuhan untuk mencintai, menyayangi sesama, meredam benci dan membantu mahkluk lain menjadi lebih bahagia.

Rabu, 28 Agustus 2013

KITA (Katanya) SATU!!!

Aku pernah bermain catur. Nuansanya hanya hitam putih. Tak ada abu-abu. Sang raja dilindungi dari beberapa ajudan yang mempunyai tugas mengalahkan lawannya. Pion-pion kecil yang melindungi para ajudan dan raja dikeluarkan awal. Kata bapakku, agar ajudan bisa melangkah. Atau pion kecil itu bisa jadi umpan untuk lawan. Dengan kata lain, pion tak apa jika dibiarkan mati demi kemenangan.

“Skak .. ,” seru ayahku.
“Ah, aku kalah lagi,” ucapku.
“Ya, jelaslah kamu tidak pernah memberikan umpan pada Ayah. Kamu asik  mempertahankan pion-pion tak berguna itu. Kamu takut.” Jawab Ayahku.
“Aku tak ingin mengorbankan hal kecil yah untuk sebuah kemenangan besar. Raja tidak akan tahan hidup tanpa rakyat kan?” sanggahku.
“Tapi ini permainan. Semua harus mengert taktik.” Jawab Ayah.

Entah mungkin aku yang selalu serius menanggapi sebuah permainan. Itu sebab aku tak pernah ingin bermain-main dengan kata-kata “umpan”. Pion itu punya hak hidup. Dialah pahlawan sebenarnya ketimbang beberapa ajudan seperti ster, benteng, ataupun kuda yang dijalankan Ayah untuk menskak mat Raja ku.
Sama halnya seperti kondisi kampusku. Hari ini kita seperti pion-pion itu yang dijadikan umpan demi satu tujuan besar yang tidak pernah kita ketahui. Untuk apa pembangunan ini semua, jika semakin sempitnya ruang dialog antar kita. Untuk apa segudang kegiatan senang-senang itu semua jika membuat kita lupa akan hakikat mahasiswa.

Aku tertegun kembali, pada kasus yang kini terjadi di kampusku. “Building Feature Leader” sebuah slogan yang sangat gagah dan mewah terpampang di pintu utama kampus. Entah itu sebuah kebanggaan atau rasa prihatin di dalamnya. Yang aku tahu, aku hanyalah mahasiswa yang tak punya kekuasaan apapun di sini. Kabar tentang korupsi yang dilakukan oleh beberapa petinggi kampus membuatku semakin patah semangat mengilhami arti suci tujuan pendidikan. Aku cukup kecewa. Apalagi ini adalah kampus pendidikan.

“Heh, melamun. Ayo jalan!” seru Ayahku.
“Skak ..” jawabku.
“Hey, berani sekali kamu menskak tanpa umpan. Yakin?” ucap Ayahku.
“Apa sih? Aku serius. Aku ingin menyerang tanpa mengorbankan siapapun ayah.” Jawabku.
“Kamu, nanti bisa kalah!”
“Itu lebih baik daripada makan bangkai teman sendiri.” Jawabku sambil pergi ke kamar.

Ayah mungkin heran kenapa aku seserius itu memainkan catur ini. Ya. Aku pergi ke kamar hanya untuk merenungi kejadian hari ini. Aksi kekerasan yang dilakukan oknum pada sebuah lembaga pers di kampus menjadi renungan keduaku. Bagaimana bisa slogan yang selalu bergeming di awal Masa Pengenalan Akademik kepada Mahasiswa baru “KITA SATU” malah menjadi ludah yang ditelan sendiri. Dari mana datangnya kata satu? Jika hari ini itu semua dilaknati.

Aku mungkin terlalu keras berpikir. Hingga aku tak sadar, bahwa hidungku sudah berlumuran darah. Aku mimisan untuk kedua kalinya. Sambil menghapus darah ini dengan tisu. Aku letakkan tisu yang sejak semalam menumpuk di meja rias. Hingga ibuku memarahiku saat masuk ke kamarku melihat banyaknya tisu kotor di lantai kamar.

“Kamu, bereskan dulu kamarmu. Banyak sampah. Tisu berserakan dimana-mana. Jorok sekali.” Ucap Ibuku.
“Iya bu,”jawabku.

Pemilik rumah biasanya memang selalu cerewet. Ya mungkin itu demi kebersihan rumah juga. Sama halnya dengan lembaga itu, terlalu cerewet mengkomentari rumahnya sendiri (Universitas) demi tujuan bersihnya sistem kampus dan budaya kampus yang tidak berpihak pada mahasiswa. Namun, kenapa hal tersebut malah menjadi ancaman.

Omelan ibu hari ini, malah menyadarkan aku bahwa kita benar-benar harus menjaga kebersihan rumah kita sendiri. Bukan hanya aku saja yang sering dimarahi. Kadang ayah, kakak, dan adikku juga sering dimarahi. Namun, kita semua tak pernah menganggap itu semua adalah ancaman. Kenapa di kampusku itu semua bisa terjadi? Apalagi jika balasannya pun hingga berujung pada tindakan kekerasan. Jika aku andaikan, apa mungkin aku tega memukul ibuku sendiri yang memberikan kritik yang membangun untuk diriku. Kupikir itu sangat tidak mungkin. 

BANYU TIDAK (PERNAH) ADA

Banyu Tak ada
Saat haus
Banyu Hilang
Saat badan Kotor
Banyu Pergi
Saat debu mengancam mata
Banyu Takut
Banyu Tak ada
Banyu Binasa
Banyu Tak Ada
Banyu Malu
Banyu Tak Ada
Banyu Tunduk
Banyu Tak Ada
Banyu Takluk
Banyu Tak pernah ada

Aku Kecewa

Sabtu, 17 Agustus 2013

Kutukan Senja

Tautan Jeruji roda melaju tanpa rasa
Berat Sebelah
Aku Masih Subjek
Sedang Kau tetap objek

Biar Saja!
Persetan dengan mereka!
Ku kutuk kau Wahai Pujangga!

Pandangan Lebur
Hanya Punggung merasa kaku
Dan bibir kelu malu-malu

Biar Saja!
Persetan dengan mereka!
Ku kutuk kau Wahai Pujangga!

Jemariku melingkar
Di antara rusuk dan pundak
Tempat sandaran jiwa
Ini kantuk atau rindu yang tabu

Biar saja!
Persetan dengan mereka!
Ku kutuk kau Wahai Pujangga!

Jangan halangiku!
Itu senja yang ku cari!

Setiap Hari! Meski kerap dia sembunyi

Sari Wijaya

Sunset Indah itu Banyu

Ketika mengungkapkan itu tabu, maka aku memilih diam diam mencintaimu

Aku tahu ini adalah hari yang mungkin akan menjadi hari terakhir. Pertemuan dan juga akhir dari pengharapan. Tak ingin ketinggalan sedikitpun waktu untuk berusaha tampil prima di depannya. Walau memang akhir-akhir ini tubuhku merasa lemah lunglai. Mungkin, karena sedikit lelah pasca mudik kemarin. Semua aku paksakan demi bertemu dengannya. Demi janji yang hingga hari ini aku tunggu-tunggu.
Sms:
Maya    : Besok jadi kan?
Banyu   : Jadi kok J
Maya    : Jam berapa?
Banyu   : Jam 10. Ok
Maya    : Minta tolong bangunin yah, takut kesiangan . Tapi gue tetap pasang alarm kok J
Banyu   : Ok
                Sebenarnya pertemuan ini adalah pembuktian pada rasa yang ku anggap cinta. Aku hanya ingin membuktikan bahwa ini hanya rasa sesaat.
Pagi itu aku terbangun, dan mulai bersiap-siap untuk memberanikan diri pergi bersamanya. Banyu. Sosok laki-laki yang sifatnya sama seperti air. Mudah mengalir, memberi kesejukan dan kadang sangat dibutuhkan. Sudah beberapa minggu ini kami sangat dekat. Tidak! Mungkin aku yang menggebu merasa dekat. Aku terlalu terbawa perasaan. Kita hanya berteman, tidak lebih dari  itu menurutnya. Lagi-lagi aku keliru.
                Ku periksa handphoneku dan tak ada sama sekali pesan masuk dari Banyu. Mungkin Banyu lupa bahwa hari ini kita akan pergi. Atau memang Banyu membatalkannya secara sepihak. Aku banyak berprasangka buruk padanya.
Sms:
Maya    : Lo udah bangun?
Banyu   : Udah
Maya    : Ok, gue udah siap-siap nih, nanti kalo udah sampe pager sms yah
                Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 tepat. Namun, tak ada sama sekali kabar dari Banyu. Aku mulai khawatir. Segala kemungkinan bisa terjadi pikirku, Tak ingin banyak menduga, aku ambil handphone di dalam tas dan mengirimkan pesan singkat kepada Banyu.
Sms:
Maya    :  Dimana?
Banyu   : Ya, nanti ya
Maya    : Ok. Nanti kalau udah sampe pagar sms ya?
                Sampai pada sms terakhir Banyu tidak membalas. Aku hanya berpikir positif saja, bahwa rumah Banyu jauh untuk menjemputku. Aku sudah turun naik tangga untuk menengok keluar menunggu Banyu. Namun, dia tak kunjung datang.
Sms        :
Maya    : Lo dimana? Masih lama?
Banyu   : May, kalo sekalian abis dzuhur ajah gimana?
Maya    : Oh gitu, Ok yaudah gapapa J
                Tidak selamanya kata-kata “gapapa” dari seorang wanita itu bersifat ikhlas. Aku sangat dongkol kala itu, aku benar-benar sudah niat untuk bertemu dengannya. Akan tetapi, Banyu terlihat malas. Entah kenapa sampai hari ini aku tak tahu. Pada saat itu aku hanya berharap Banyu ingin solat dzuhur terlebih dahulu agar perjalanan kita lebih lancar. Aku pun melepas kerudungku dan kembali ke kamar.
                Hari ini aku tak ingin menulis status apapun di media sosial, aku tak bercerita kepada siapapun tentang perjalanan ini termasuk orangtua. Aku takut tak diijinkan dan akan mengagalkan perjalanan ini. Harapku, hari ini akan menjadi hari terbaik untukku. Meski, aku tahu bahwa Banyu tak mungkin merasa hal itu.
***
                “Sorry, tadi lagi di jalan jadi gak diangkat,” ucap Banyu.
                “Iya gapapa, Cuma khawatir ajah lo sampenya lama banget, kan lo tau gue khawatiran. Kalo lo kecelakaan di jalan gimana?” jawabku.
                “Ya, enggaklah. Hehe.. Udah siap nih kita,” tanya Banyu.
                “Siap,” jawabku.
                Walaupun motor Banyu lebih kecil daripada motor seseorang  tahun lalu yang sama mengajakku ke tempat ini, tetapi aku yakin motor ini lebih kuat daripada motor tahun lalu. Keyakinan itu aku dapatkan dari cerita Banyu yang sudah mengelilingi beberapa daerah dengan motor itu. Aku menyebutnya si macan. Terlebih lagi dengan pengendaranya yang selalu membuatku yakin bahwa dia itu kuat dan tangguh. Seperti slogan hidupnya. “Kit harus selalu tampil prima”.
                Roda motor dari sela-sela jeruji itu terus melaju kencang. Sedikit cemas karena postur badanku yang tak tergolong kurus. Aku takut ban motor ini bocor. Namun, Tuhan hari ini berpihak padaku. Kami sama sekali tak mendapat hambatan. Kecuali macet. Selepas hari raya lebaran, kawasan Puncak memang ramai kendaraan. Sehingga membuat Banyu mencari alternatif  jalan lain untuk menghindari macet. Aku belum pernah melewati jalan ini. Dan ini kali pertamanya aku melewati jalan berbelok belok dengan tanjakan dan turunan yang sangat cukup membuatku ketakutan. Terlebih lagi jalanan itu sama macetnya dan tak cukup lebar.
                “Ini mah namanya sama ajah bukan jalan alternatif,” gerutuku.
                Banyu sangat berbeda dengan Summer. Walau kadang sering ingin menabrak orang karena oleng, Banyu tak sungkan sungkan meminta maaf. Sedangkan Summer begitu sangat mencekam. Kadang jika ada yang menyerempetnya, dia suka memasang wajah marah dan tak segan-segan mengucapkan kata kasar. Aku sebagai seseorang yang mengingatkan sambil seraya mengucapkan sabar dan mengusap-usap pundaknya.
                Perjalanan panjang itu membuat aku merasa sangat dekat. Banyu mulai melihat-lihat tempat mana yang sangat cocok untuk kita singgah sekadar bercerita ataupun melihat sunset yang sedari tadi aku ucapkan. Ya. Aku begitu rewel ingin melihat sunset saat senja tiba.
                “Gimana kalo di sini?” tanya Banyu.
                “Ya udah gapapa, terserah lo ajah,” jawabku.
                Banyu memesankanku indomie kari+telor serta teh manis hangat. Kami duduk berjauhan sekitar 1 meter. Tak ada tanda-tanda sebuah keromantisan. Kita hanya menceritakan apa saja yang bisa diceritakan. Inilah momen yang aku tunggu. Bercerita. Aku tak pernah mengharapkan akan bermesraan atau saling mengutarakan rasa. Karena , aku yakini bahwa rasaku adalah rasa paling sederhana, aku bedakan dengan rasa-rasa masalalu yang selalu vulgar dan terlihat arogan. Ini rasa sederhanaku untuk Banyuku yang  sangat bersahaja di mataku. Tampak menunduk jika menatapku, dan mengkemas dirinya dengan sangat sederhana tetapi mewah di mataku.
                Aku pun tak lupa menceritakan tentang masalaluku dengan Summer. Mungkin benar. Aku terlalu terbuka pada Banyu. Sedangkan, Banyu tetap menjadi Banyu yang misterius. Bukan maksudku membahas masalalu. Aku hanya ingin Banyu tahu. Aku hanya ingin tak ada rahasia apapun antara aku dan Banyu. Walau aku tahu nantinya Banyu mungkin akan kecewa mendengarnya. Sungguh aku tak peduli. Aku hanya ingin jujur pada Banyu yang aku yakini akan sangat bijak mendengar masalahku.
                “Gimana setelah lo denger semuanya, pasti lo ilfil kan sama gue?” tanyaku.
                “Enggak. Biasa ajah.” Jawab Banyu.
                Ya, selalu seperti itu. Banyu sangat datar. Susah dibaca. Berbeda seperti yang lain, kali ini aku sama sekali tidak mampu menebaknya sedikitpun. Maka, aku hanya mengumpat harap semoga Banyu merasakan hal yang sama sepertiku.
                Sudah pukul jam 06.00 sore. Kami masih berada di warung ini. Banyu memesankanku kembali teh hangat dan kopi hangat untuknya. Tak lupa dia meminjamkan jaket untukku. Mungkin, karena melihat aku yang sudah menggigil sedari tadi. Ya. Aku tak pernah tahan dengan dingin. Aku penderita Hipotermia.
                Arah obrolan kita tak pernah mengacu pada arah hubungan ini, lebih tepatnya memang itulah yang tak pernah diinginkan Banyu. Banyu hanya menganggapku sebagai teman baik. Itu saja cukup. Dan aku cukup mengerti. Hari ini sebenarnya adalah hari pembuktianku bahwa selama ini rasaku salah pada Banyu. Aku berharap setelah bertemu Banyu, aku berpikir ulang untuk memutuskan memiliki rasa ini. Namun, pradugaku benar-benar salah. Aku benar-benar sayang dengan Banyu dengan segala bentuk kesederhanaannya.
                Senja di atas puncak kali ini berbeda. Kami tak saling mengungkap rasa. Aku dengan sembunyi-sembunyi menyimpan kata-kata itu. Aku merasakan sesuatu yang lain. Rasa yang diam-diam tetapi indah menurutku. Sunset itu begitu terlihat di tempat ini. Dialah matahari dengan penggeraknya Sang Semesta yang juga mengijinkan aku dan Banyu bersama-sama menikmati sunset dan hawa dingin alam dengan berbagai kesejukkan.
                “Mau pulang jam berapa?” tanya Banyu
                “ Pokoknya sampai rumah jangan sampai jam 10,”
                “Oke kalau gitu kita turun jam setengah 8,” jawabnya.
                Percakapan pun dimulai kembali. Aku sangat berterimakasih pada Tuhan untuk hari ini, telah menghadirkan Banyu. Entah darimana aku bisa sangat menyayanginya. Dia tak setampan beberapa pria masalalu, tak sekaya pria masalalu dan pula tak seamazing pria masalalu. Yang aku tahu Banyu itu air, yang menyejukkan dan mengalir walau kadang dia susah dicari. Dia Banyuku dan akan tetap begitu. Tertutup dan Misterius.
                “Ayo pulang, sudah jam setengah 8,” ucap Banyu mengingatkan.
                “Oh, iya,” jawabku.
                Waktu terasa begitu cepat. Hingga sepertinya aku ingin menghentikan waktuku sejenak agar bisa terus bersama Banyu. Banyu pun mulai menghidupkan motornya. Sedangkan aku mulai menduduki jok belakang. Kami siap meluncur ke bawah dan kembali pulang. Tak lupa ku serahkan jaket Banyu untuk dipakainya kembali. Aku takkan tega melihat dia berlengan pendek seperti itu. Walaupun aku kembali kedinginan. Aku meletakkan tanganku didalam kantong jaket Banyu.
                “Gue kedinginan, gue pinjem kantong lo yah,” pintaku.
                “Iya, masukin ajah gapapa,” jawabnya.
                Itu membuat kita semakin dekat. Jantungku berdetak begitu kencang. Namun, aku harus tetap cool agar tak terlihat gugup di depan Banyu. Hingga sekitar beberapa kilometer dan sudah menuruni daerah Puncak, aku mengeluarkan tanganku dari kantongnya karena udara sudah tak begitu dingin.
                Di perjalanan pulang, Banyu fokus  mengendarai motornya. Aku tak ingin mengganggu Banyu dengan ocehanku yang sedari tadi kupikir tak henti-henti. Akhirnya aku diam saja, hingga rasa kantuk itu tiba-tiba datang. Yang aku tahu aku refleks menyandarkan dagu dan badan besarku ini di pundak dan punggung Banyu. Aku hanya mendengar suaranya yang samar-samar.
                “Tidur ya?” tanya Banyu
                “Iya,” jawabku setengah sadar.
                “Pegangan,” perintahnya.
                “Iya,” jawabku sambil melingkarkan tanganku di perutnya.
                Entah sampai mana itu terjadi. Aku pun tak terlalu nyenyak tidur, Karena aku tahu itu di atas motor. Aku sedikit takut kalau-kalau Banyu oleng dan jatuh. Namun, aku tetap tak berdaya dan meneruskan tidur hingga aku sadar bahwa Banyu menyentuh tanganku yang terlepas dari perutnya. Dan membenarkan peganganku.
                “ Pegangan May, nanti jatoh. Yang Bener,” Perintahnya lagi.
                “Iya, “jawabku ngantuk.
                Hingga akhirnya aku baru sadar bahwa hari itu aku sedang memakai softlens dan tidak diperbolehkan tidur. Aku memaksakan mataku untuk terbuka walau rasa kantuk itu masih ada.
                “Gue lupa gue pakai softlens,”kataku sambil mengantuk.
                “Gak boleh tidur emang kalau pake softlens?” tanya Banyu.
                “Iya,” jawabku.
                Namun, entah kenapa walau sudah setengah bangun seperti itu, aku juga tak kunjung melepaskan pegangan yang mungkin bisa dibilang itu adalah pelukan pertamaku pada Banyu. Aku merasa  sangat nyaman sekali dan ingin rasanya aku katakan saat itu,” Banyu aku sayang kamu, makasih yah.” Namun, tetap saja hal itu tak bisa terucapkan. Kata-kata itu terlalu tabu.
Aroma tubuhnya sampai hari ini aku masih sangat ingat. Entah dia memakai parfume apa tetapi aku sangat nyaman bersandar di dekatnya. Punggung itu penuh ceritaku. Rasanya kala itu aku benar-benar tak ingin melepaskan dekapanku pada Banyu. Karena seperti tujuan awal, bahwa ini adalah akhir pengharapan. Karena Banyu sudah dari awal memutuskan bahwa tak akan pernah menjadi lebih dari sekadar teman. Itu yang ku tangisi. Sejarah masalalu, Summer dan Banyu adalah satu persekawanan. Aku adalah korban masalalu yang kini menyayangi Banyu. Banyu maafkan aku, aku sayang kamu. Malam itu, sambil mendekapnya, aku dalam hati meneteskan airmataku di jaketnya sambil seraya mengatakan dalam hati
                Tuhan mencipta rasa bukanlah hal yang tidakwajar. Jika memang mengungkapan dan mengucap itu adalah tabu, maka ijinkan aku mencintaimu secara diam-diam.
                Kemudian aku lepaskan tanganku dan mencoba berusaha terlihat biasa di depan Banyu.
                “Makasih yah Banyu, jangan kapok lo ngeboncengi kulkas dua pintu kaya gue,” leluconku.
                “Huaaa..tenang-tenang,” tawa Banyu.
                Pertemuanku pun berakhir tepat di depan pagar bercat hijau.
Selamat tinggal Banyu  kataku dalam hati
               
***

Jumat, 26 Juli 2013

Cerbung: Sejuta Cerita Nebeng (Part 2)

Berbagi keluh, menciptakan solusi
            Salah satu teman kampus yang sering sekali bertingkah aneh-aneh ini juga sahabatku. Ujang namanya. Dia memang gak pernah serius jika berperilaku. Jangan pernah heran denganku jika hari ini kaum adam banyak sekali di sekelilingku. Ya memang teman-temanku hanya jenis itu melulu. Dan sangat mengasyikkan mendengar mereka bertingkah laku sebebas-bebasnya tanpa memandang image. Semester 3 ini, Ujanglah yang menemaniku di kampus.
            Berteman dengannya enak, tak tanggung tanggung Ujang sering sekali meminjamkan bajunya untuk menyingsingkan airmata beserta lendirnya yang meleleh dari hidung lantaran aku curhat sesegukkan karena baru saja putus harapan dengan seorang pria teman sekelasku. Kita memang beda kelas, tetapi Ujang menjadi akrab denganku karena topik pembicaraan soal music kita sama.
            Ujang juga sangat care denganku saat aku sedang kesusahan. Misalnya, belum makan karena kehabisan uang, atau gak punya uang untuk ngeprint tugas banyak. Huahaha Ujang is my best friend. Seketika Ujang punya kekasih, tetapi tak menampakkannya terlihat bahagia. Kekasihnya cenderung cuek, dan Ujang mengalami keganjilan dengan perilaku kekasihnya itu. Kita sering becanda, apalagi sesekali suka bertingkah mesra di jejaring sosial.  Aku jelas terlihat salah, tetapi sungguh itu hanya becanda.
Sms:
            Neneng, baca wall-wall an kita, dia mutusin gue (Ujang)
            Oh Tuhan. Benar-benar salah praduga kita berdua. Maksudnya, ingin menarik perhatian kembali si Neneng agar lebih peduli dengan Ujang. Eh, ini malah terbalik. Neneng memutuskan cinta Ujang begitu saja. Jadilah Ujang si manusia galau.
Pulang kuliah Ujang tetap memberikan tebengan tetapi tampak lusuh dan berkabung.  Aku selalu mencoba menghibur dia tetapi nampaknya itu tidak berhasil. Ujang sering kesepian dan kadang malam hari dia menelponku untuk curhat dan sebagainya. Aku, yang ingin membalas budi baik Ujang selalu dengan senang hati mendengarkan. Hingga suatu saat, aku berpikir untuk menjodohkan Ujang dengan teman perempuanku.
Ya, aku menjodohkan mereka karena ku tahu teman perempuanku sebut saja Nur, juga sedang dilanda kelabu. Walaupun membutuhkan waktu 2,5 tahun lamanya menaklukkan Nur, akhirnya dengan terus bersemangat Ujang bisa mendapatkannya juga. Aku berharap Ujang bisa membahagiakan Nur. Karena, Nur adalah sahabatku juga seperti Ujang. Walaupun sekarang Ujang sudah jarang memberikan tebengan denganku bahkan Ujang juga sudah memiliki titik fokusnya yaitu Nur, aku sangat bahagia. Karena, nebeng itu bukan patron client tetap berbagi.


Cerbung: Sejuta Cerita Nebeng (Part 1)


Kita mengurai macet, kita bersahabat
            Hari ini si tukang nebeng ingin bercerita. Cerita dari pergulatan perjalanan yang membuatnya stress berkendaraan umum. Nebeng. Sebuah kata yang mungkin menurut orang-orang sangat memalukan atau terlalu rendahan diucapkan. Namun, jika kita mencoba menelisik kembali nebeng bisa mengurai macet. Bahkan, mampu menjalin ikatan sosial yang erat bagi yang memberi tebengan.
            Sms:
            Gue udah di depan gang lo (Bram)
            Setelah melihat dan berkenalan dari awal, ternyata teman SMPku masuk di bangku perkuliahan dengan Universitas yang sama. Terlebih lagi rumah Bram sangatlah berdekatan denganku. Semester satu ini, aku memutuskan untuk menebeng dengannya. Itu pun tidak gratis. Aku juga turut membantunya sekadar uang isi bensin, atau traktir ‘burger dons’ kesukaan kita berdua.
            Sepulang kuliah, kita juga sering jalan bareng ke ‘pop ice tante’ di daerah Lubang Buaya. Itu pun atas ajakanku karena memang ingin membalas budi baik Bram yang mau memberikan tebengannya untukku serta kadang mendengarkan curhatanku.
            Terowongan UKI, di sana aku suka menggila dengan teriak untuk membuat para pengguna jalan melihat kegilaanku. Haha..
“Gila lu! Kita jadi pusat perhatian bodoh! Malu gue!”
Aku hanya tertawa lepas. Ini ku maksudkan untuk melepas penat karena tugas organisasi kita yang kebetulan sama cukup melelahkan dan membuat kita pulang selarut malam ini. Untung saja, jadwal kuliah kita cenderung sama, jadi tak ada alasan bagi Bram untuk malas menjemputku. Entahlah aku juga tidak tahu apa yang membuat Bram betah ditebengi orang macam aku yang terkadang suka lambat dan mengharuskan Bram berjemur bermenit-menit di depan gang.
“Lama banget sih lu, sampe kering nih,” kesalnya
Sorry, hehe.. namanya juga cewe kan dandan dulu,” jawabku.
“Yaelah gak jadi cakep juga,” ketusnya lagi.
“Dih, songong banget lu!” gerutuku
Ya, sampai hari ini Bram juga sering menemaniku sekedar lari sore di stadion. Aku memang tidak begitu akrab dengan teman-teman lain di sekeliling rumah. Jadi, jika ada sesuatu aku suka minta bantuan Bram. Namun, perjalanan nebeng kita cukup diakhiri di satu semester saja, karena aku memutuskan untuk menyewa kostan di dekat kampus. Itu pun dikarenakan aku ingin lebih fokus menggeluti organisasiku yang menuntut banyak waktu di sana. Di lain hal, Bram juga sedang PDKT dengan teman sekelasnya, aku terpaksa mengalah untuknya. Ya, begitulah nebengers terkadang tak selalu dengan orang yang sama untuk menjalin ikatan sosial. Namun, yang jelas kita pasti tahu adab menebeng tidak boleh memaksa ataupun dipaksakan.

Jumat, 05 Juli 2013

Nasi Goreng Gerbong Satu

Diam itu mati, maka yang bising itu hidup
            “Tut.., tut.., tut.., suara kereta api Ekonomi Progo jurusan Jakarta Senen-Lampuyangan, Yogyakarta siap berangkat.
Seperti halnya penumpang yang lain, aku dan kedua temanku pun segera berlari mencari tempat duduk. Ah, ini suasana yang sangat tak biasa. Aku tak tahu apa-apa tentang kereta api, mungkin karena ini kali pertama kami menaiki kereta. Kami bertiga di terima di salah satu Universitas Negeri di Yogyakarta. Lantas, hari ini kami harus berangkat untuk esok harinya daftar ulang di kampus. Mata kami berkeliaran mencari petugas berseragam biru, siapa tahu dia tahu dimana letak deretan angka di kertas ini. Di sana tertulis,
            PT.Kereta Api Indonesia
Nomor tempat duduk: 6c_6b_6a
Mataku mulai terbelalak mencari urutan, setiap urutan, dan. Ketemu! Kami berada di gerbong satu, letaknya tepat di kepala kereta dekat dengan supir kereta api. Aku segera mengambil posisi paling pojok dekat jendela. Aku suka posisi ini, karena aku bisa dengan mudah melihat pemandangan di luar.
“Ah, curang gue dong dipojok,” tukas Ferika.
“Apa-apaan enggak enggak gue lah,” sambung Indra.
Aku tetap tak menggubris mereka yang berebut tempat duduk ini, tekadku sudah bulat untuk duduk di dekat jendela.
“Maaf kawan, ini hanya untuk tempat duduk putri Maya,” sambil menyerobot dan duduk dengan tenang.
Mereka akhirnya mengalah seraya melipat wajah tak ikhlas. Sedangkan aku membuka novelku sambil memakan snack-snack yang sudah aku persiapkan di rumah. Sambil menggerutu mereka tetap saja tak tahu malu mengambil satu persatu snackku. Ah! Biarkan saja toh itu cuma snack murah yang mampu kubeli.
Kereta Api pun berjalan tepat pukul 09.00 malam. Pintu masing-masing gerbong ditutup. Walaupun sedang berjalan tak membuat suasana di dalam kereta menjadi sepi, Berlalu lalang pedagang menjajakan dagangannya, tetapi tidak satupun yang menggugah seleraku. Ibuku pernah mengatakan bahwa makanan yang dijual di luar bisa jadi asal buat dan tidak higienis. Maka, aku lebih percaya makanan yang dibekali oleh ibu untuk malam ini ketimbang membeli di kereta.
Berbeda dengan dua temanku ini, sedari tadi asyik membeli nasi goreng khas kereta api. Mungkin, karena mereka tak dibekali orangtua mereka sepertiku. Menurut mereka sangat merepotkan membawa makanan di rumah. Jika bisa membeli kenapa mesti repot membuat.
“Mau, enggak lo?” tanya Ferika.
“Enggak Ferika, udah bawa gue,”
“Cuma tiga ribu ajah pelit banget,” ketus Ferika.
“Kan, gue bilang gue udah ada kenapa musti beli?” jawabku kesal.
“Iya, ngerti. Apa salahnya sih amal. Gue tiga ribu, Indra tiga ribu, dan lo empat ribu,” tukas Ferika.
“Kok, gue banyakan? Enak di elo! Enggak ah, gua gak doyan gak mau beli,” ketusku lagi.
“Yaudah kalo gak mau, dasar putri Maya anak mami. Manja!,” ujar Ferika.
Sungguh aku tak peduli dengan kata-kata Ferika, karena menurutku itu sama sekali tak penting. Mama sudah membekaliku nasi goreng special , lebih enak dan lebih banyak isi pula. Sosis, baso, daging ayam yang tercincang tipis sangat harmonis dibuat menjadi sebuah masakan yang memiliki citra rasa tinggi.
Tak ingin banyak berdebat dengan Ferika, aku mulai kembali memasang headsetku untuk kembali mendengarkan musik. Selang beberapa menit kemudian, ponselku berbunyi dan kulihat ada sms masuk. Ternyata dari tertulis dari Mama.
Sms:
Assalamualaikum adikku Maya, Ini Masmu . Mama kecelakaan dek barusan saja sepulang mengantarkanmu di stasiun. Mobilnya tertabrak Truk Besar dan kondisinya masih koma. Segera beli tiket pulang atau sewa travel. Hati-hati di Jalan dek. Wassalam
***
Lagi-lagi tempat ini yang menjadi tujuanku. Udara di pinggir rel cukup membuat tubuhku menggigil. Langit nampak mendung, mungkin akan segera turun hujan. Namun, apa boleh buat, kakiku kupaksakan untuk melangkah. Tekadku hari ini nasi gorengku laku semua. Kabar tentang kenaikan harga BBM cukup membuatku termenung. Si Bungsu baru saja lahir, sedangkan Si Sulung sehabis lebaran harus masuk SD. Apa daya,wong cilik macamku ini tak akan mampu protes. Aku memilih manut saja, toh istriku cukup senang karena mendapat dana BLSM dari pemerintah. Setidaknya, uang itu aku akan gunakan untuk membeli baju sekolah si sulung.
“Heh, melamun saja kamu,” sapa mbak Darsih seraya menepuk pundakku.
“Oh, iya mbak iki aku lagi nunggu kereta,” jawabku
“Loh, sama kalo gitu, aku juga sedang nunggu,” ujarnya lagi.
Mbak Darsih adalah janda beranak tiga satu profesi denganku. Hanya dia berdagang kopi dan rokok setiap hari di kereta. Kesehariannya sering melawak teman sesama pedagang seperti tiada beban di hidupnya. Padahal wanita 40 tahun ini sering sekali berpindah-pindah rumah lantaran dikejar dept collector yang menagih hutang-hutang suaminya selama hidup.
Ono opo toh mukamu dilipat begitu Jo?” tanya Mbak Darsih.
Ora opo-opo mbak, aku Cuma bingung harga kebutuhan tambah naik saja. Besok sudah mau puasa. Aku malu kalau pulang ke kampung ndak bawa opo-opo,” jawabku.
Wis bawalah kalo gitu.,” celetuk mbak Darsih meledek.
“Bawa opo toh mbak? Aku ndak punya duit,” jawabku singkat.
“Paijo, paijo wis itu ndak usah dipikirkan. Bersyukur saja hari ini masih diberi makan, siapa tahu besok atau lusa kamu dapat rejeki banyak toh. Hidup kok takut gak punya uang. Modar sampean. Banyak frustasi nanti bunuh diri kaya almarhum suamiku, ninggali anak istri, mau sampean?” ujarnya panjang dengan lantang.
Ndak, mbak.” Jawabku singkat.
“Yo wis kalo gitu, sekarang kerja lagi, belum laku sama sekali toh kamu hari ini? Tuh, kereta sudah datang nanti ketinggalan kamu,” suruhnya.
Ku langkahkan kakiku di gerbong ke tiga. Ku jajakan daganganku pada penumpang yang di dalamnya. Sebenarnya aku pesimis nasi ini akan terjual hari ini. Di waktu yang sudah larut ini mana ada orang yang mau makan nasi goreng.
Namun, sudah terlanjur di dalam kereta, aku akhirnya memasuki gerbong pertama. Di sana terlihat banyak orang tidur di bangku ataupun di bawah bangku. Adapula sekumpulan bapak-bapak bercengkeramah dengan rokok di masing-masing jemari mereka. Terlihat di sana Mbak Darsih sedang melayani bapak-bapak tersebut. Mataku nanar menatap semua penumpang di gerbong satu, akhirnya aku memutuskan untuk balik arah kembali ke gerbong dua. Akan tetapi seorang perempuan berkuncir kuda memanggilku.
“Pak, beli nasi goreng,” panggil perempuan tersebut.
Kuhampiri perempuan itu. Usianya bisa dikatakan belia, mungkin sekitar 20 tahun. Raut wajahnya tak sama sekali mencerminkan sebagai penumpang yang biasa menggunakan kereta. Dia bersama kedua kawannya tampak tersenyum-senyum melihat daerah sekitar gerbong kereta tempat banyak pedagang berlalu lalang.
“Mau beli berapa?” tanyaku.
“Satunya berapa pak?” tanyanya.
“Tiga ribu ajah mbak,”
“Ih murah banget.”
Kemudian salah satu temannya ikut memilih-milih nasi gorengku, dan mengambil sebanyak tiga bungkus. Sedangkan teman perempuan yang duduk dipojok sedari tadi sama sekali tidak menoleh ke arah daganganku, bahkan terlihat tidak tertarik. Aku agak lama berada di kursi penumpang itu, karena menunggu perempuan berkuncir kuda tadi bercekcok mulut dengan teman perempuannya. Ku kenali dari percekcokan itu nama perempuan berkuncir, Ferika dan nama perempuan di pojok jendela Maya.
“Lo ngambil berapa ndra?” tanya Ferika kepada teman laki-lakinya.
“Tiga nih buat gue ajah sendiri, laper gue Fe. Hehe,” seru Indra.
“Iya, yaudah gue juga ambil tiga deh. Jadi berapa pak semuanya?” tanya Ferika kepadaku.
“Semuanya delapan belas ribu ajah mbak,” jawabku.
“Ini pak,” sambil menyodorkan uang seratus ribuan.
“Yah, terus gimana dong? Masa gak ada kembalinya sih pak?” tanya Ferika.
“Iya, masa gak ada. Emang bapak masuk kereta ini gak bayar?” sambung Indra.
Pertanyaan mereka benar-benar menusukku sebenarnya. Sudah barang tentu, kami pedagang keliling tidak membayar tiket masuk, hanya membayar pungutan untuk dagang.  Namun, bagaimana lagi pembeli adalah raja dan mereka penglaris pertama bagiku.
Ndak ada mbak, ini saja aku baru laku.”
Sejenak mereka diam dan terlihat dari mereka menampakkan wajah iba dan saling tatap
“Jadi, dari tadi pagi belum laku sama sekali pak?” tanya perempuan itu.
“Iya mbak.” Jawabku tersenyum sambil segan. Aku takut dia tidak jadi membeli nasi gorengku.
“ Kalau gitu kembalinya buat bapak ajah deh pak,”
“Hah? Maaf mbak saya ndak enak jadinya.” jawabku enggan.
“Udah gapapa pak, itung-itung buat nambahin sahur kan udah mau puasa. Makasih ya pak.” ujarnya.
“Saya yang terimakasih seharusnya mbak. Terimakasih banyak ya mbak sekali lagi.”
Aku tersenyum sumringah dan segera membungkuskan kembali untuk mbak Ferika dan mas Indra, aku tambahi nasi gorengnya menjadi sepuluh buah. Walaupun uang seratus ribu mungkin tak akan pernah bertahan lama untuk kebutuhan hidup, setidaknya dia cukup untuk makan sahur minggu depan.
-end-

Sabtu, 29 Juni 2013

Pemberhentian Terakhir di Gerbong Sembilan

"Tulisan ini untuk ikut kompetisi @_PlotPoint: buku Catatan si Anak Magang Film "Cinta Dalam Kardus" yang tayang di bioskop mulai 13 Juni 2013." 

Dan aku tak punya hati, untuk menyakiti dirimu. Dan aku tak punya hati untuk mencintai dirimu yang selalu mencintai dirimu (Chrisye)

Suara dentuman kereta api menandai perjalananku hari ini. Langit sudah sedikit mendung, menandakan hujan akan segera mengguyur perjalanan. Pertemuan terakhir di dalam kereta api membuatku sedikit bingung kenapa harus tempat ini. Aku yang sedari tadi duduk termangu hanya memasang telinga mendengarkan dari awal hingga akhir alasan demi alasannya.
Matanya menatap nanar memberikan suatu dercak kesedihan. Aku jelas tak kuasa menahan tangis. Aku ingat bagaimana kita berjalan merangkak untuk bisa mencapai sebuah tujuan yang kita inginkan. Umur kita yang terbilang masih sangat muda, 21 tahun sudah berpikir untuk serius adalah sebuah kemustahilan belaka.
Di akhir September 2012, dia menatapku penuh dengan kesedihan. Menggenggam tanganku dengan penuh rasa bersalah. Sedangkan, aku hanya tertunduk meneteskan air mata. Aku kecil di atas kursi. Sesekali melirik ke langit-langit atap menahan tangis. Namun, aku sadar air mata itu akan tetap jatuh.
“Maafin aku may,” ucapnya seraya memelukku erat.
“Aku sayang sama kamu,”ucapku sambil menangis tersedu-sedu.
Terkadang aku merasa ada part hidupku yang dibuat Tuhan terasa tak adil. Semenjak ke sepuluh lelaki terdahulu yang lain tak pernah ku perlakukan se special ini, kini aku harus patuh dan ikhlas dengan keadaan. Alasan yang tak pernah bisa ditolelir memang. Orang tua darinya tak pernah setuju denganku. Cukup klasik menanggapi masalah restu, tetapi alasan ini merupakan alasan yang memiliki polemik setiap musim.
Kita berhenti di gerbong Sembilan. Sebuah angka yang cukup lama untukku. Aku memilih cinta bukan karena melihat kau siapa, tetapi karena caramu memperlakukanku seperti apa. Dan, kamu berhasil menjadikanku wanita seutuhnya. Sifatku yang tomboy dan tak beraturan tidak membuat cintamu berkurang. Namun, ini terjadi lagi di gerbong Sembilan. Sama seperti yang dahulu.
Dengan kehampaan aku pulang. Ku hapus airmataku malam ini, aku tak ingin mengumbarnya di depan kedua orang tuaku. Sampai akhirnya aku hanya berbaring di atas tempat tidur menangis kemudian menghapus air mata, begitu seterusnya. Hubungan ini, begitu aku banggakan di depan kedua orang tuaku, sahabat dan kerabat. Hingga akhirnya aku menceritakan pada ayahku perkara ini. Dia terlihat kesal dan merasa direndahkan. Maka, sudah habis perkara aku tak akan pernah diijinkan kembali dengannya. Terlebih lagi hujatan semua sahabatku yang menganggap bahwa dia adalah laki-laki pengecut.
“Lo, tau enggak ini  alibi dia ajah. Memang kalian tuh sudah mau nikah yah. Inget, kalian itu masih 21 tahun. Alasannya klasik banget masalah fisik lo, emang dia seganteng apa sih? Nanti juga ada masa nya kalo lo udah lulus kuliah, kerja dan mempercantik diri.” ketus Dira.
Tak akan tahan dengan semua perkataannya. Hingga hari ini, telingaku seolah kebal jika semua orang menghardiknya. Dalam hatiku masih menangis. Meski kita sudah 8 bulan putus tetapi tetap saja semua tak akan mudah hilang.
Cinta tak mungkin berhenti secepat saat aku jatuh hati (tangga)
Alunan musik mengiringi ingatanku. Kini semua kenangan seakan dipaksa keluar dari otakku. Semua akses ditutup untukku. Darimana aku harus mulai perjalanan lagi? Sedang semua kenanganmu masih berada di sini. Di setiap folder laptopku masih kuarsipkan rapih tentangmu. Baju couple kita berdua dengan desain aneh itu, masih aku simpan di lemariku. Sebuah novel tentang perjalanan cinta kita juga masih ku simpan dalam folder baik-baik. Tak akan pernah kuhapus sampai kapan pun. Karena menunggumu adalah sebuah keseriusanku.
Malam ini, di gerbong Sembilan, bulan Sembilan di detik-detik hari kelahiranku. Aku mengalami kejadian serupa saat orang terdahulu pun berhenti di gerbong ini. Ku pikir gerbong Sembilan ini mampu mengantarkan ku dengan mu sampai pada tujuan. Namun, ternyata gerbong inilah satu-satunya gerbong yang tak layak dan tak ada penumpang untuk singgah. Hingga akhirnya kereta api terus melaju dan mengharuskan aku berjalan tanpamu. End