Diam itu mati, maka yang bising itu
hidup
“Tut.., tut.., tut.., suara kereta
api Ekonomi Progo jurusan Jakarta Senen-Lampuyangan, Yogyakarta siap berangkat.
Seperti
halnya penumpang yang lain, aku dan kedua temanku pun segera berlari mencari
tempat duduk. Ah, ini suasana yang sangat tak biasa. Aku tak tahu apa-apa
tentang kereta api, mungkin karena ini kali pertama kami menaiki kereta. Kami
bertiga di terima di salah satu Universitas Negeri di Yogyakarta. Lantas, hari
ini kami harus berangkat untuk esok harinya daftar ulang di kampus. Mata kami
berkeliaran mencari petugas berseragam biru, siapa tahu dia tahu dimana letak
deretan angka di kertas ini. Di sana tertulis,
PT.Kereta Api Indonesia
Nomor tempat duduk: 6c_6b_6a
Mataku
mulai terbelalak mencari urutan, setiap urutan, dan. Ketemu! Kami berada di
gerbong satu, letaknya tepat di kepala kereta dekat dengan supir kereta api.
Aku segera mengambil posisi paling pojok dekat jendela. Aku suka posisi ini,
karena aku bisa dengan mudah melihat pemandangan di luar.
“Ah,
curang gue dong dipojok,” tukas Ferika.
“Apa-apaan
enggak enggak gue lah,” sambung Indra.
Aku
tetap tak menggubris mereka yang berebut tempat duduk ini, tekadku sudah bulat
untuk duduk di dekat jendela.
“Maaf
kawan, ini hanya untuk tempat duduk putri Maya,” sambil menyerobot dan duduk
dengan tenang.
Mereka
akhirnya mengalah seraya melipat wajah tak ikhlas. Sedangkan aku membuka
novelku sambil memakan snack-snack
yang sudah aku persiapkan di rumah. Sambil menggerutu mereka tetap saja tak
tahu malu mengambil satu persatu snackku. Ah! Biarkan saja toh itu cuma snack murah yang mampu kubeli.
Kereta
Api pun berjalan tepat pukul 09.00 malam. Pintu masing-masing gerbong ditutup.
Walaupun sedang berjalan tak membuat suasana di dalam kereta menjadi sepi, Berlalu
lalang pedagang menjajakan dagangannya, tetapi tidak satupun yang menggugah
seleraku. Ibuku pernah mengatakan bahwa makanan yang dijual di luar bisa jadi
asal buat dan tidak higienis. Maka, aku lebih percaya makanan yang dibekali
oleh ibu untuk malam ini ketimbang membeli di kereta.
Berbeda
dengan dua temanku ini, sedari tadi asyik membeli nasi goreng khas kereta api.
Mungkin, karena mereka tak dibekali orangtua mereka sepertiku. Menurut mereka
sangat merepotkan membawa makanan di rumah. Jika bisa membeli kenapa mesti
repot membuat.
“Mau,
enggak lo?” tanya Ferika.
“Enggak
Ferika, udah bawa gue,”
“Cuma
tiga ribu ajah pelit banget,” ketus Ferika.
“Kan,
gue bilang gue udah ada kenapa musti beli?” jawabku kesal.
“Iya,
ngerti. Apa salahnya sih amal. Gue tiga ribu, Indra tiga ribu, dan lo empat
ribu,” tukas Ferika.
“Kok,
gue banyakan? Enak di elo! Enggak ah, gua gak doyan gak mau beli,” ketusku
lagi.
“Yaudah
kalo gak mau, dasar putri Maya anak mami. Manja!,” ujar Ferika.
Sungguh
aku tak peduli dengan kata-kata Ferika, karena menurutku itu sama sekali tak penting.
Mama sudah membekaliku nasi goreng special
, lebih enak dan lebih banyak isi pula. Sosis, baso, daging ayam yang
tercincang tipis sangat harmonis dibuat menjadi sebuah masakan yang memiliki
citra rasa tinggi.
Tak
ingin banyak berdebat dengan Ferika, aku mulai kembali memasang headsetku untuk
kembali mendengarkan musik. Selang beberapa menit kemudian, ponselku berbunyi
dan kulihat ada sms masuk. Ternyata dari tertulis dari Mama.
Sms:
Assalamualaikum adikku Maya, Ini
Masmu . Mama kecelakaan dek barusan saja sepulang mengantarkanmu di stasiun.
Mobilnya tertabrak Truk Besar dan kondisinya masih koma. Segera beli tiket
pulang atau sewa travel. Hati-hati di Jalan dek. Wassalam
***
Lagi-lagi
tempat ini yang menjadi tujuanku. Udara di pinggir rel cukup membuat tubuhku
menggigil. Langit nampak mendung, mungkin akan segera turun hujan. Namun, apa
boleh buat, kakiku kupaksakan untuk melangkah. Tekadku hari ini nasi gorengku
laku semua. Kabar tentang kenaikan harga BBM cukup membuatku termenung. Si
Bungsu baru saja lahir, sedangkan Si Sulung sehabis lebaran harus masuk SD. Apa
daya,wong cilik macamku ini tak akan
mampu protes. Aku memilih manut saja, toh
istriku cukup senang karena mendapat dana BLSM dari pemerintah. Setidaknya,
uang itu aku akan gunakan untuk membeli baju sekolah si sulung.
“Heh, melamun saja kamu,” sapa mbak Darsih seraya
menepuk pundakku.
“Oh, iya mbak iki
aku lagi nunggu kereta,” jawabku
“Loh, sama kalo gitu, aku juga sedang nunggu,”
ujarnya lagi.
Mbak Darsih adalah janda beranak tiga satu profesi
denganku. Hanya dia berdagang kopi dan rokok setiap hari di kereta.
Kesehariannya sering melawak teman sesama pedagang seperti tiada beban di
hidupnya. Padahal wanita 40 tahun ini sering sekali berpindah-pindah rumah
lantaran dikejar dept collector yang
menagih hutang-hutang suaminya selama hidup.
“Ono opo toh
mukamu dilipat begitu Jo?” tanya Mbak Darsih.
“Ora opo-opo
mbak, aku Cuma bingung harga kebutuhan tambah naik saja. Besok sudah mau puasa.
Aku malu kalau pulang ke kampung ndak
bawa opo-opo,” jawabku.
“Wis
bawalah kalo gitu.,” celetuk mbak Darsih meledek.
“Bawa opo toh
mbak? Aku ndak punya duit,” jawabku
singkat.
“Paijo, paijo wis
itu ndak usah dipikirkan. Bersyukur
saja hari ini masih diberi makan, siapa tahu besok atau lusa kamu dapat rejeki
banyak toh. Hidup kok takut gak punya
uang. Modar sampean. Banyak frustasi
nanti bunuh diri kaya almarhum suamiku, ninggali anak istri, mau sampean?” ujarnya panjang dengan
lantang.
“Ndak,
mbak.” Jawabku singkat.
“Yo wis
kalo gitu, sekarang kerja lagi, belum laku sama sekali toh kamu hari ini? Tuh,
kereta sudah datang nanti ketinggalan kamu,” suruhnya.
Ku langkahkan kakiku di gerbong ke tiga. Ku jajakan
daganganku pada penumpang yang di dalamnya. Sebenarnya aku pesimis nasi ini
akan terjual hari ini. Di waktu yang sudah larut ini mana ada orang yang mau
makan nasi goreng.
Namun, sudah terlanjur di dalam kereta, aku akhirnya
memasuki gerbong pertama. Di sana terlihat banyak orang tidur di bangku ataupun
di bawah bangku. Adapula sekumpulan bapak-bapak bercengkeramah dengan rokok di
masing-masing jemari mereka. Terlihat di sana Mbak Darsih sedang melayani
bapak-bapak tersebut. Mataku nanar menatap semua penumpang di gerbong satu,
akhirnya aku memutuskan untuk balik arah kembali ke gerbong dua. Akan tetapi
seorang perempuan berkuncir kuda memanggilku.
“Pak, beli nasi goreng,” panggil perempuan tersebut.
Kuhampiri perempuan itu. Usianya bisa dikatakan
belia, mungkin sekitar 20 tahun. Raut wajahnya tak sama sekali mencerminkan
sebagai penumpang yang biasa menggunakan kereta. Dia bersama kedua kawannya
tampak tersenyum-senyum melihat daerah sekitar gerbong kereta tempat banyak
pedagang berlalu lalang.
“Mau beli berapa?” tanyaku.
“Satunya berapa pak?” tanyanya.
“Tiga ribu ajah mbak,”
“Ih murah banget.”
Kemudian salah satu temannya ikut memilih-milih nasi
gorengku, dan mengambil sebanyak tiga bungkus. Sedangkan teman perempuan yang
duduk dipojok sedari tadi sama sekali tidak menoleh ke arah daganganku, bahkan
terlihat tidak tertarik. Aku agak lama berada di kursi penumpang itu, karena
menunggu perempuan berkuncir kuda tadi bercekcok mulut dengan teman
perempuannya. Ku kenali dari percekcokan itu nama perempuan berkuncir, Ferika
dan nama perempuan di pojok jendela Maya.
“Lo ngambil berapa ndra?” tanya Ferika kepada teman
laki-lakinya.
“Tiga nih buat gue ajah sendiri, laper gue Fe.
Hehe,” seru Indra.
“Iya, yaudah gue juga ambil tiga deh. Jadi berapa
pak semuanya?” tanya Ferika kepadaku.
“Semuanya delapan belas ribu ajah mbak,” jawabku.
“Ini pak,” sambil menyodorkan uang seratus ribuan.
“Yah, terus gimana dong? Masa gak ada kembalinya sih
pak?” tanya Ferika.
“Iya, masa gak ada. Emang bapak masuk kereta ini gak
bayar?” sambung Indra.
Pertanyaan mereka benar-benar menusukku sebenarnya.
Sudah barang tentu, kami pedagang keliling tidak membayar tiket masuk, hanya
membayar pungutan untuk dagang. Namun,
bagaimana lagi pembeli adalah raja dan mereka penglaris pertama bagiku.
“Ndak ada
mbak, ini saja aku baru laku.”
Sejenak mereka diam dan terlihat dari mereka
menampakkan wajah iba dan saling tatap
“Jadi, dari tadi pagi belum laku sama sekali pak?”
tanya perempuan itu.
“Iya mbak.” Jawabku tersenyum sambil segan. Aku
takut dia tidak jadi membeli nasi gorengku.
“ Kalau gitu kembalinya buat bapak ajah deh pak,”
“Hah? Maaf mbak saya ndak enak jadinya.” jawabku enggan.
“Udah gapapa pak, itung-itung buat nambahin sahur
kan udah mau puasa. Makasih ya pak.” ujarnya.
“Saya yang terimakasih seharusnya mbak. Terimakasih
banyak ya mbak sekali lagi.”
Aku tersenyum sumringah dan segera membungkuskan
kembali untuk mbak Ferika dan mas Indra, aku tambahi nasi gorengnya menjadi
sepuluh buah. Walaupun uang seratus ribu mungkin tak akan pernah bertahan lama
untuk kebutuhan hidup, setidaknya dia cukup untuk makan sahur minggu depan.
-end-