Jumat, 05 Juli 2013

Nasi Goreng Gerbong Satu

Diam itu mati, maka yang bising itu hidup
            “Tut.., tut.., tut.., suara kereta api Ekonomi Progo jurusan Jakarta Senen-Lampuyangan, Yogyakarta siap berangkat.
Seperti halnya penumpang yang lain, aku dan kedua temanku pun segera berlari mencari tempat duduk. Ah, ini suasana yang sangat tak biasa. Aku tak tahu apa-apa tentang kereta api, mungkin karena ini kali pertama kami menaiki kereta. Kami bertiga di terima di salah satu Universitas Negeri di Yogyakarta. Lantas, hari ini kami harus berangkat untuk esok harinya daftar ulang di kampus. Mata kami berkeliaran mencari petugas berseragam biru, siapa tahu dia tahu dimana letak deretan angka di kertas ini. Di sana tertulis,
            PT.Kereta Api Indonesia
Nomor tempat duduk: 6c_6b_6a
Mataku mulai terbelalak mencari urutan, setiap urutan, dan. Ketemu! Kami berada di gerbong satu, letaknya tepat di kepala kereta dekat dengan supir kereta api. Aku segera mengambil posisi paling pojok dekat jendela. Aku suka posisi ini, karena aku bisa dengan mudah melihat pemandangan di luar.
“Ah, curang gue dong dipojok,” tukas Ferika.
“Apa-apaan enggak enggak gue lah,” sambung Indra.
Aku tetap tak menggubris mereka yang berebut tempat duduk ini, tekadku sudah bulat untuk duduk di dekat jendela.
“Maaf kawan, ini hanya untuk tempat duduk putri Maya,” sambil menyerobot dan duduk dengan tenang.
Mereka akhirnya mengalah seraya melipat wajah tak ikhlas. Sedangkan aku membuka novelku sambil memakan snack-snack yang sudah aku persiapkan di rumah. Sambil menggerutu mereka tetap saja tak tahu malu mengambil satu persatu snackku. Ah! Biarkan saja toh itu cuma snack murah yang mampu kubeli.
Kereta Api pun berjalan tepat pukul 09.00 malam. Pintu masing-masing gerbong ditutup. Walaupun sedang berjalan tak membuat suasana di dalam kereta menjadi sepi, Berlalu lalang pedagang menjajakan dagangannya, tetapi tidak satupun yang menggugah seleraku. Ibuku pernah mengatakan bahwa makanan yang dijual di luar bisa jadi asal buat dan tidak higienis. Maka, aku lebih percaya makanan yang dibekali oleh ibu untuk malam ini ketimbang membeli di kereta.
Berbeda dengan dua temanku ini, sedari tadi asyik membeli nasi goreng khas kereta api. Mungkin, karena mereka tak dibekali orangtua mereka sepertiku. Menurut mereka sangat merepotkan membawa makanan di rumah. Jika bisa membeli kenapa mesti repot membuat.
“Mau, enggak lo?” tanya Ferika.
“Enggak Ferika, udah bawa gue,”
“Cuma tiga ribu ajah pelit banget,” ketus Ferika.
“Kan, gue bilang gue udah ada kenapa musti beli?” jawabku kesal.
“Iya, ngerti. Apa salahnya sih amal. Gue tiga ribu, Indra tiga ribu, dan lo empat ribu,” tukas Ferika.
“Kok, gue banyakan? Enak di elo! Enggak ah, gua gak doyan gak mau beli,” ketusku lagi.
“Yaudah kalo gak mau, dasar putri Maya anak mami. Manja!,” ujar Ferika.
Sungguh aku tak peduli dengan kata-kata Ferika, karena menurutku itu sama sekali tak penting. Mama sudah membekaliku nasi goreng special , lebih enak dan lebih banyak isi pula. Sosis, baso, daging ayam yang tercincang tipis sangat harmonis dibuat menjadi sebuah masakan yang memiliki citra rasa tinggi.
Tak ingin banyak berdebat dengan Ferika, aku mulai kembali memasang headsetku untuk kembali mendengarkan musik. Selang beberapa menit kemudian, ponselku berbunyi dan kulihat ada sms masuk. Ternyata dari tertulis dari Mama.
Sms:
Assalamualaikum adikku Maya, Ini Masmu . Mama kecelakaan dek barusan saja sepulang mengantarkanmu di stasiun. Mobilnya tertabrak Truk Besar dan kondisinya masih koma. Segera beli tiket pulang atau sewa travel. Hati-hati di Jalan dek. Wassalam
***
Lagi-lagi tempat ini yang menjadi tujuanku. Udara di pinggir rel cukup membuat tubuhku menggigil. Langit nampak mendung, mungkin akan segera turun hujan. Namun, apa boleh buat, kakiku kupaksakan untuk melangkah. Tekadku hari ini nasi gorengku laku semua. Kabar tentang kenaikan harga BBM cukup membuatku termenung. Si Bungsu baru saja lahir, sedangkan Si Sulung sehabis lebaran harus masuk SD. Apa daya,wong cilik macamku ini tak akan mampu protes. Aku memilih manut saja, toh istriku cukup senang karena mendapat dana BLSM dari pemerintah. Setidaknya, uang itu aku akan gunakan untuk membeli baju sekolah si sulung.
“Heh, melamun saja kamu,” sapa mbak Darsih seraya menepuk pundakku.
“Oh, iya mbak iki aku lagi nunggu kereta,” jawabku
“Loh, sama kalo gitu, aku juga sedang nunggu,” ujarnya lagi.
Mbak Darsih adalah janda beranak tiga satu profesi denganku. Hanya dia berdagang kopi dan rokok setiap hari di kereta. Kesehariannya sering melawak teman sesama pedagang seperti tiada beban di hidupnya. Padahal wanita 40 tahun ini sering sekali berpindah-pindah rumah lantaran dikejar dept collector yang menagih hutang-hutang suaminya selama hidup.
Ono opo toh mukamu dilipat begitu Jo?” tanya Mbak Darsih.
Ora opo-opo mbak, aku Cuma bingung harga kebutuhan tambah naik saja. Besok sudah mau puasa. Aku malu kalau pulang ke kampung ndak bawa opo-opo,” jawabku.
Wis bawalah kalo gitu.,” celetuk mbak Darsih meledek.
“Bawa opo toh mbak? Aku ndak punya duit,” jawabku singkat.
“Paijo, paijo wis itu ndak usah dipikirkan. Bersyukur saja hari ini masih diberi makan, siapa tahu besok atau lusa kamu dapat rejeki banyak toh. Hidup kok takut gak punya uang. Modar sampean. Banyak frustasi nanti bunuh diri kaya almarhum suamiku, ninggali anak istri, mau sampean?” ujarnya panjang dengan lantang.
Ndak, mbak.” Jawabku singkat.
“Yo wis kalo gitu, sekarang kerja lagi, belum laku sama sekali toh kamu hari ini? Tuh, kereta sudah datang nanti ketinggalan kamu,” suruhnya.
Ku langkahkan kakiku di gerbong ke tiga. Ku jajakan daganganku pada penumpang yang di dalamnya. Sebenarnya aku pesimis nasi ini akan terjual hari ini. Di waktu yang sudah larut ini mana ada orang yang mau makan nasi goreng.
Namun, sudah terlanjur di dalam kereta, aku akhirnya memasuki gerbong pertama. Di sana terlihat banyak orang tidur di bangku ataupun di bawah bangku. Adapula sekumpulan bapak-bapak bercengkeramah dengan rokok di masing-masing jemari mereka. Terlihat di sana Mbak Darsih sedang melayani bapak-bapak tersebut. Mataku nanar menatap semua penumpang di gerbong satu, akhirnya aku memutuskan untuk balik arah kembali ke gerbong dua. Akan tetapi seorang perempuan berkuncir kuda memanggilku.
“Pak, beli nasi goreng,” panggil perempuan tersebut.
Kuhampiri perempuan itu. Usianya bisa dikatakan belia, mungkin sekitar 20 tahun. Raut wajahnya tak sama sekali mencerminkan sebagai penumpang yang biasa menggunakan kereta. Dia bersama kedua kawannya tampak tersenyum-senyum melihat daerah sekitar gerbong kereta tempat banyak pedagang berlalu lalang.
“Mau beli berapa?” tanyaku.
“Satunya berapa pak?” tanyanya.
“Tiga ribu ajah mbak,”
“Ih murah banget.”
Kemudian salah satu temannya ikut memilih-milih nasi gorengku, dan mengambil sebanyak tiga bungkus. Sedangkan teman perempuan yang duduk dipojok sedari tadi sama sekali tidak menoleh ke arah daganganku, bahkan terlihat tidak tertarik. Aku agak lama berada di kursi penumpang itu, karena menunggu perempuan berkuncir kuda tadi bercekcok mulut dengan teman perempuannya. Ku kenali dari percekcokan itu nama perempuan berkuncir, Ferika dan nama perempuan di pojok jendela Maya.
“Lo ngambil berapa ndra?” tanya Ferika kepada teman laki-lakinya.
“Tiga nih buat gue ajah sendiri, laper gue Fe. Hehe,” seru Indra.
“Iya, yaudah gue juga ambil tiga deh. Jadi berapa pak semuanya?” tanya Ferika kepadaku.
“Semuanya delapan belas ribu ajah mbak,” jawabku.
“Ini pak,” sambil menyodorkan uang seratus ribuan.
“Yah, terus gimana dong? Masa gak ada kembalinya sih pak?” tanya Ferika.
“Iya, masa gak ada. Emang bapak masuk kereta ini gak bayar?” sambung Indra.
Pertanyaan mereka benar-benar menusukku sebenarnya. Sudah barang tentu, kami pedagang keliling tidak membayar tiket masuk, hanya membayar pungutan untuk dagang.  Namun, bagaimana lagi pembeli adalah raja dan mereka penglaris pertama bagiku.
Ndak ada mbak, ini saja aku baru laku.”
Sejenak mereka diam dan terlihat dari mereka menampakkan wajah iba dan saling tatap
“Jadi, dari tadi pagi belum laku sama sekali pak?” tanya perempuan itu.
“Iya mbak.” Jawabku tersenyum sambil segan. Aku takut dia tidak jadi membeli nasi gorengku.
“ Kalau gitu kembalinya buat bapak ajah deh pak,”
“Hah? Maaf mbak saya ndak enak jadinya.” jawabku enggan.
“Udah gapapa pak, itung-itung buat nambahin sahur kan udah mau puasa. Makasih ya pak.” ujarnya.
“Saya yang terimakasih seharusnya mbak. Terimakasih banyak ya mbak sekali lagi.”
Aku tersenyum sumringah dan segera membungkuskan kembali untuk mbak Ferika dan mas Indra, aku tambahi nasi gorengnya menjadi sepuluh buah. Walaupun uang seratus ribu mungkin tak akan pernah bertahan lama untuk kebutuhan hidup, setidaknya dia cukup untuk makan sahur minggu depan.
-end-