Kegalauan tak selalu mencipta
airmata, bahwa hari ini penemu itu berhasil menemukan sesungging senyuman
Lengang
terasa, tak seperti malam hari, ternyata tempat ini terlihat sepi di siang
hari. Sungguh aneh, biasanya aku bersepeda malam hari, menikmati setiap
keramaian di tempat ini, tetapi hari ini aku dan sang penemu itu bercengkeramah
di siang hari. Lambung kami memang satu tipe, selalu saja tepat waktu
mengetuk-ngetuk tak mau terlambat di siang ini. Kami singgahi warung tenda di kawasan
ini, dahulu konon menurut sejarah yang tertulis kawasan ini dirancang oleh tim
arsitek yang dipimpin oleh P.A.J Mooijen seorang arsitek Belanda yang juga
merupakan anggota tim pengembang yang dibentuk pemerintah kota Batavia. Maka,
jangan heran jika arsitekurnya pun sampai hari ini mirip gaya-gaya Eropa.
Kami menyusuri perjalanan ini dan berhenti
sejenak di sebuah warung tenda bertuliskan “Tersedia Soto ayam, soto babat, dan
Indomie rebus”. Spanduknya berwarna kuning, yang sampai hari ini aku mengartikannya
sebagai warna yang cerah, walaupun aku dan penemu memancarkan suasana yang
kelabu. Awalnya memang si penemu itu menawarkanku untuk memilih menu apa yang
akan kami nikmat. Namun, ternyata aku lebih memilih
makanan yang paling instan dan sangat aku sukai “Mie rebus instan” dan penemu
itu lebih memilih soto ayam. Bukannya aku tak menyukai soto ayam, tetapi memang
kuah santan itu tak pernah mengijinkan masuk ke lambungku yang sudah sedikit
rusak.
Tak mau berlarut-larut di tempat
yang sangat sempit ini, kami segera menuju tempat yang ingin kami tuju. Sebuah
taman kota yang terletak di kawasan yang pernah terintegrasi dengan suburban yang
memiliki kemiripan model kota taman dari Ebenezer Howard, seorang arsitektur
pembaharu asal Inggris.
Taman menteng, begitu nama tempat
ini dikenal. Walaupun memang tak seindah taman gantung di Babilonia, tetapi aku
menikmati kesunyian di sini. Kami mulai mencari tempat untuk duduk. Sepi dan
damai begitu terlihat di siang ini. Hanya ada belasan muda-mudi yang asik bercengkeramah
serta tukang kopi keliling menjajakan dagangannya dengan sepeda. Seperti sudah
menjadi kebiasaan, penemu itu membeli sebungkus rokok yang kita nikmati berdua
dan secangkir kopi hitam sebagai pelengkapnya.
Entah apa tujuan kami di sini,
karena aku pikir kami sedang merasakan kelabunya jiwa. Dan aku sebut ini
heterotopia, ajang senang-senang dan melepas kepenatan aktivitas yang selalu
melingkari kami. Berlarut-larut kami bercengkeramah siang itu, Apa saja kami
bicarakan, soal negara yang hari ini tambah semrawut hingga masalah pribadi
yang paling detail sekalipun.
Tak
mampu kusangkali bahwa hari ini aku bercurah kepada penemu yang sama sekali tak
ku kenal, bahkan berasal dari negeri mana, aku tak tahu. Semua tercurah begitu
saja. Aku nyaman dengannya. Ini bukan saja perihal kenyamanan. Namun, pesona
eloknya mengalahkan segala bentuk ketakutan-ketakutanku terhadap bentuk
masalalu itu. Sang Penemu memang manusia yang sangat lemah kupikir. Dia bukan
seperti orang-orang katakan. Penemu itu keras, angkuh bahkan tak suka dengar
apa yang tak sesuai dengan kehendak hatinya. Namun,hari ini asumsi semua orang
terhadapnya patah.
Bijaksana.
Begitu panggilanku terhadapnya. Penemu, mendengarkan semua keluhan, Tak
segan-segan ia pun sesekali menawarkanku setengguk minuman hitam itu untuk
menemani langkah kita menemukan hal yang tak pernah kita temui.
Berawal
namun tak berakhir. Hanya itu yang bisa kupanjatkan untuk senja elok ini. Senja
biasanya menawarkan kisah klasik yang membosankan. Tetapi hari ini, senja
mendukungku menjalankan ekspedisi pencarian itu bersama sang penemu. Penemu
yang cukup asing tetapi bersahaja di senja ini.
Penemu
yang bijaksana mendengar, tak cukup mendengar pikirku untuk menjadi penemu,
akhirnya penemu itu menasehati, tak cukup sampai menasehati pikirku untuk jadi
bijaksana, maka dengan penuh keberanian, dia siap membantuku. Apakah tak merugi
pikirku membuang-buang waktu untuk mendengarkan manusia macamku ini yang penuh
dengan ketidakjelasan. Namun, senja ini penemu menyatakan sanggup dan bersedia
mencari apa yang dicari di diriku ini.
Penemu
itu meminjamkan pundak, materi dan waktunya untukku. Aku berhutang. Ya, pikirku
itu, entah kapan aku mampu membayar semua yang telah diberikan hari ini oleh
penemu itu. Aku pun tak ragu untuk bersandar di pundaknya, dan sedikit demi
sedikit mengeluarkan segala keluhan hidup yang makin lama makin menjeratku
dalam ketertekanan. Kami bercerita, saling mendengar, dan bersenda gurau.
Hingga rasa galau itu lambat laun pun hilang. Kami tak sadar bahwa rasa itu
telah larut dengan proses kenyamanan yang kami dapat di taman ini.
Walau
senja mulai memberikan kode untuk pulang. Namun, hiruk pikuk kota, lalu lalang
para penjual kopi dan yang terpenting adalah angin yang selalu mengiringi
perjalanan kami pulang ikut andil dalam penemuan ini. Ya. Sesungging senyuman
akhirnya dapat ditemukan oleh sang penemu di diriku. Senyum itu ada karena sang
penemu dengan ikhlas mencari dan menemukannya. Wahai sang Penemu, senyum yang
telah kau temukan di senja ini,akan terus terbit tanpa tenggelam ketika hari
ini,esok, dan selamanya kau akan terus menerus menjaga senyumku dengan berada
di sampingku hingga senja kembali esok hari. sw