Jumat, 17 Agustus 2012

Senja Elok di Menteng


Kegalauan tak selalu mencipta airmata, bahwa hari ini penemu itu berhasil menemukan sesungging senyuman

Lengang terasa, tak seperti malam hari, ternyata tempat ini terlihat sepi di siang hari. Sungguh aneh, biasanya aku bersepeda malam hari, menikmati setiap keramaian di tempat ini, tetapi hari ini aku dan sang penemu itu bercengkeramah di siang hari. Lambung kami memang satu tipe, selalu saja tepat waktu mengetuk-ngetuk tak mau terlambat di siang ini. Kami singgahi warung tenda di kawasan ini, dahulu konon menurut sejarah yang tertulis kawasan ini dirancang oleh tim arsitek yang dipimpin oleh P.A.J Mooijen seorang arsitek Belanda yang juga merupakan anggota tim pengembang yang dibentuk pemerintah kota Batavia. Maka, jangan heran jika arsitekurnya pun sampai hari ini mirip gaya-gaya Eropa. 

            Kami menyusuri perjalanan ini dan berhenti sejenak di sebuah warung tenda bertuliskan “Tersedia Soto ayam, soto babat, dan Indomie rebus”. Spanduknya berwarna kuning, yang sampai hari ini aku mengartikannya sebagai warna yang cerah, walaupun aku dan penemu memancarkan suasana yang kelabu. Awalnya memang si penemu itu menawarkanku untuk memilih menu apa yang akan kami nikmat. Namun, ternyata aku lebih memilih makanan yang paling instan dan sangat aku sukai “Mie rebus instan” dan penemu itu lebih memilih soto ayam. Bukannya aku tak menyukai soto ayam, tetapi memang kuah santan itu tak pernah mengijinkan masuk ke lambungku yang sudah sedikit rusak. 



            Tak mau berlarut-larut di tempat yang sangat sempit ini, kami segera menuju tempat yang ingin kami tuju. Sebuah taman kota yang terletak di kawasan yang pernah terintegrasi dengan suburban yang memiliki kemiripan model kota taman dari Ebenezer Howard, seorang arsitektur pembaharu asal Inggris.

            Taman menteng, begitu nama tempat ini dikenal. Walaupun memang tak seindah taman gantung di Babilonia, tetapi aku menikmati kesunyian di sini. Kami mulai mencari tempat untuk duduk. Sepi dan damai begitu terlihat di siang ini. Hanya ada belasan muda-mudi yang asik bercengkeramah serta tukang kopi keliling menjajakan dagangannya dengan sepeda. Seperti sudah menjadi kebiasaan, penemu itu membeli sebungkus rokok yang kita nikmati berdua dan secangkir kopi hitam sebagai pelengkapnya. 

            Entah apa tujuan kami di sini, karena aku pikir kami sedang merasakan kelabunya jiwa. Dan aku sebut ini heterotopia, ajang senang-senang dan melepas kepenatan aktivitas yang selalu melingkari kami. Berlarut-larut kami bercengkeramah siang itu, Apa saja kami bicarakan, soal negara yang hari ini tambah semrawut hingga masalah pribadi yang paling detail sekalipun. 

            Tak mampu kusangkali bahwa hari ini aku bercurah kepada penemu yang sama sekali tak ku kenal, bahkan berasal dari negeri mana, aku tak tahu. Semua tercurah begitu saja. Aku nyaman dengannya. Ini bukan saja perihal kenyamanan. Namun, pesona eloknya mengalahkan segala bentuk ketakutan-ketakutanku terhadap bentuk masalalu itu. Sang Penemu memang manusia yang sangat lemah kupikir. Dia bukan seperti orang-orang katakan. Penemu itu keras, angkuh bahkan tak suka dengar apa yang tak sesuai dengan kehendak hatinya. Namun,hari ini asumsi semua orang terhadapnya patah. 

            Bijaksana. Begitu panggilanku terhadapnya. Penemu, mendengarkan semua keluhan, Tak segan-segan ia pun sesekali menawarkanku setengguk minuman hitam itu untuk menemani langkah kita menemukan hal yang tak pernah kita temui.

            Berawal namun tak berakhir. Hanya itu yang bisa kupanjatkan untuk senja elok ini. Senja biasanya menawarkan kisah klasik yang membosankan. Tetapi hari ini, senja mendukungku menjalankan ekspedisi pencarian itu bersama sang penemu. Penemu yang cukup asing tetapi bersahaja di senja ini. 

            Penemu yang bijaksana mendengar, tak cukup mendengar pikirku untuk menjadi penemu, akhirnya penemu itu menasehati, tak cukup sampai menasehati pikirku untuk jadi bijaksana, maka dengan penuh keberanian, dia siap membantuku. Apakah tak merugi pikirku membuang-buang waktu untuk mendengarkan manusia macamku ini yang penuh dengan ketidakjelasan. Namun, senja ini penemu menyatakan sanggup dan bersedia mencari apa yang dicari di diriku ini.

            Penemu itu meminjamkan pundak, materi dan waktunya untukku. Aku berhutang. Ya, pikirku itu, entah kapan aku mampu membayar semua yang telah diberikan hari ini oleh penemu itu. Aku pun tak ragu untuk bersandar di pundaknya, dan sedikit demi sedikit mengeluarkan segala keluhan hidup yang makin lama makin menjeratku dalam ketertekanan. Kami bercerita, saling mendengar, dan bersenda gurau. Hingga rasa galau itu lambat laun pun hilang. Kami tak sadar bahwa rasa itu telah larut dengan proses kenyamanan yang kami dapat di taman ini. 

            Walau senja mulai memberikan kode untuk pulang. Namun, hiruk pikuk kota, lalu lalang para penjual kopi dan yang terpenting adalah angin yang selalu mengiringi perjalanan kami pulang ikut andil dalam penemuan ini. Ya. Sesungging senyuman akhirnya dapat ditemukan oleh sang penemu di diriku. Senyum itu ada karena sang penemu dengan ikhlas mencari dan menemukannya. Wahai sang Penemu, senyum yang telah kau temukan di senja ini,akan terus terbit tanpa tenggelam ketika hari ini,esok, dan selamanya kau akan terus menerus menjaga senyumku dengan berada di sampingku hingga senja kembali esok hari. sw



Prolog


Kepadamu, aku menyimpan cemburu dalam harapan yang tertumpuk oleh sesak dipenuhi ragu. Terlalu banyak ruang yang tak bisa aku buka. Dan, kebersamaan Cuma memperbanyak ruang tertutup. Munkin, jalan kita tidak bersimpangan. Ya, jalanmu dan jalanku sama. Meski, diam-diam, aku masih saja menatapmu dengan cinta yang malu-malu. Aku dan kamu, seperti hujan dan teduh. Seperti itulah cinta kita. Seperti menebak langit abu-abu. (Novel Hujan Teduh).


Pertemuan yang sangat singkat di balik perkaraku akhirnya mampu mempertemukan dua rasa kita. Tuhan selalu mempunyai cara untuk mempertemukan dan memisahkan. Tak ada yang sangat mengesankan daripada pertemuan dan perjalanan di tahun ini. Berawal dari kegalauan aku menemukanmu. Setiap tikungan yang kita singgahi memiliki banyak kenangan yang tak mungkin pernah terhapus. Kau sebagai penemu, kau sebagai penjelajah, dan kau sebagai pemenang. Penemu atas rasaku, penjelajah atas segala keseharianku, dan Pemenang atas hatiku. 

Kita pernah bermimpi untuk mampu mencapai apa yang kita tuju, bukan secara individu melainkan secara kolektif. Dengan semangat liberte, egalite dan Frahternait kita membuat visi misi ke depan untuk mencapai sebuah konsep besar. Generasi Santosa dan Wijaya serta kesuksesan sebagai seorang anak manusia dan mahasiswa tentunya. Perjalanan cinta kita adalah seni. Erich Fromme benar bahwa ini bukan sekedar rasa sebagai sifat naluriah kebinatangan seorang manusia, tetapi aku mengakuinya bahwa rasa ini penuh nilai estetika. 

Walaupun kadang diterjang berbagai halangan, baik di pihakmu ataupun di pihakku, tetapi aku dan kamu yakin bahwa bahagia tercipta atas perjuangan kita sendiri, bahkan Spinoza pernah berkata, bahwa Tuhan bukanlah satu-satunya dalang. 

Ini bukan akhir cinta. Aku anggap ini awal atas kesalahan masa lalumu. Masa lalumu yang sampai saat ini menghantuiku. Ketakutanku terhadapnya masih sangat melekat di rongga-rongga terakhir kali kau ucapkan kata maaf untuk kesalahanmu. Aku bukan palung rasa yang bisa menyedot semua rasamu. Aku juga bukan pula jajanan pinggir jalan yang dijual murah dan tidak higienis. Semua rasa dan perilaku yang ku berikan padamu adalah konsep besar yang aku mimpi-mimpikan dengan penuh estetika dan luxurious walaupun caraku sangatlah sederhana. 

Ini hanya selembar kertasku yang kini sudah terisi setengah warna hasil karya cipta kita berdua, dan ini belum selesai. Maka, marilah kita cari kembali pewarnanya bersama dan satu persatu kita goreskan ke kertas ini agar konsep besar gambar kita nampak indah. Jangan pernah sembunyi dari rasa, keluarkan apa yang mampu kamu ekspresikan atasku. Begitu pula aku. Karena cuma di cinta ini kita mampu berdiri merdeka dan menjadi diri sendiri. 

Aku dan kamu bagai hujan dan teduh. Seperti menebak langit abu-abu. sw