Ketika mengungkapkan itu tabu, maka aku memilih diam diam mencintaimu
Aku tahu ini
adalah hari yang mungkin akan menjadi hari terakhir. Pertemuan dan juga akhir
dari pengharapan. Tak ingin ketinggalan sedikitpun waktu untuk berusaha tampil
prima di depannya. Walau memang akhir-akhir ini tubuhku merasa lemah lunglai.
Mungkin, karena sedikit lelah pasca mudik kemarin. Semua aku paksakan demi
bertemu dengannya. Demi janji yang hingga hari ini aku tunggu-tunggu.
Sms:
Maya : Besok jadi kan?
Banyu : Jadi kok J
Maya : Jam berapa?
Banyu : Jam 10. Ok
Maya : Minta tolong bangunin yah, takut kesiangan
. Tapi gue tetap pasang alarm kok J
Banyu : Ok
Sebenarnya pertemuan ini adalah
pembuktian pada rasa yang ku anggap cinta. Aku hanya ingin membuktikan bahwa
ini hanya rasa sesaat.
Pagi
itu aku terbangun, dan mulai bersiap-siap untuk memberanikan diri pergi
bersamanya. Banyu. Sosok laki-laki yang sifatnya sama seperti air. Mudah
mengalir, memberi kesejukan dan kadang sangat dibutuhkan. Sudah beberapa minggu
ini kami sangat dekat. Tidak! Mungkin aku yang menggebu merasa dekat. Aku
terlalu terbawa perasaan. Kita hanya berteman, tidak lebih dari itu menurutnya. Lagi-lagi aku keliru.
Ku periksa handphoneku dan tak ada sama sekali pesan masuk dari Banyu. Mungkin
Banyu lupa bahwa hari ini kita akan pergi. Atau memang Banyu membatalkannya
secara sepihak. Aku banyak berprasangka buruk padanya.
Sms:
Maya : Lo udah bangun?
Banyu : Udah
Maya : Ok, gue udah siap-siap nih, nanti kalo
udah sampe pager sms yah
Waktu sudah menunjukkan pukul
10.00 tepat. Namun, tak ada sama sekali kabar dari Banyu. Aku mulai khawatir.
Segala kemungkinan bisa terjadi pikirku, Tak ingin banyak menduga, aku ambil handphone di dalam tas dan mengirimkan
pesan singkat kepada Banyu.
Sms:
Maya :
Dimana?
Banyu : Ya, nanti ya
Maya : Ok. Nanti kalau udah sampe pagar sms ya?
Sampai pada sms terakhir Banyu
tidak membalas. Aku hanya berpikir positif saja, bahwa rumah Banyu jauh untuk
menjemputku. Aku sudah turun naik tangga untuk menengok keluar menunggu Banyu.
Namun, dia tak kunjung datang.
Sms
:
Maya : Lo dimana? Masih lama?
Banyu : May, kalo sekalian abis dzuhur ajah gimana?
Maya : Oh gitu, Ok yaudah gapapa J
Tidak selamanya kata-kata
“gapapa” dari seorang wanita itu bersifat ikhlas. Aku sangat dongkol kala itu,
aku benar-benar sudah niat untuk bertemu dengannya. Akan tetapi, Banyu terlihat
malas. Entah kenapa sampai hari ini aku tak tahu. Pada saat itu aku hanya
berharap Banyu ingin solat dzuhur terlebih dahulu agar perjalanan kita lebih
lancar. Aku pun melepas kerudungku dan kembali ke kamar.
Hari ini aku tak ingin menulis
status apapun di media sosial, aku tak bercerita kepada siapapun tentang
perjalanan ini termasuk orangtua. Aku takut tak diijinkan dan akan mengagalkan
perjalanan ini. Harapku, hari ini akan menjadi hari terbaik untukku. Meski, aku
tahu bahwa Banyu tak mungkin merasa hal itu.
***
“Sorry,
tadi lagi di jalan jadi gak diangkat,” ucap Banyu.
“Iya
gapapa, Cuma khawatir ajah lo sampenya lama banget, kan lo tau gue khawatiran.
Kalo lo kecelakaan di jalan gimana?” jawabku.
“Ya,
enggaklah. Hehe.. Udah siap nih kita,” tanya Banyu.
“Siap,”
jawabku.
Walaupun motor Banyu lebih kecil
daripada motor seseorang tahun lalu yang
sama mengajakku ke tempat ini, tetapi aku yakin motor ini lebih kuat daripada
motor tahun lalu. Keyakinan itu aku dapatkan dari cerita Banyu yang sudah
mengelilingi beberapa daerah dengan motor itu. Aku menyebutnya si macan.
Terlebih lagi dengan pengendaranya yang selalu membuatku yakin bahwa dia itu
kuat dan tangguh. Seperti slogan hidupnya. “Kit harus selalu tampil prima”.
Roda motor dari sela-sela jeruji
itu terus melaju kencang. Sedikit cemas karena postur badanku yang tak
tergolong kurus. Aku takut ban motor ini bocor. Namun, Tuhan hari ini berpihak padaku.
Kami sama sekali tak mendapat hambatan. Kecuali macet. Selepas hari raya
lebaran, kawasan Puncak memang ramai kendaraan. Sehingga membuat Banyu mencari
alternatif jalan lain untuk menghindari
macet. Aku belum pernah melewati jalan ini. Dan ini kali pertamanya aku
melewati jalan berbelok belok dengan tanjakan dan turunan yang sangat cukup
membuatku ketakutan. Terlebih lagi jalanan itu sama macetnya dan tak cukup
lebar.
“Ini mah namanya sama ajah bukan
jalan alternatif,” gerutuku.
Banyu sangat berbeda dengan
Summer. Walau kadang sering ingin menabrak orang karena oleng, Banyu tak sungkan sungkan meminta maaf. Sedangkan Summer
begitu sangat mencekam. Kadang jika ada yang menyerempetnya, dia suka memasang
wajah marah dan tak segan-segan mengucapkan kata kasar. Aku sebagai seseorang
yang mengingatkan sambil seraya mengucapkan sabar dan mengusap-usap pundaknya.
Perjalanan panjang itu membuat
aku merasa sangat dekat. Banyu mulai melihat-lihat tempat mana yang sangat
cocok untuk kita singgah sekadar bercerita ataupun melihat sunset yang sedari
tadi aku ucapkan. Ya. Aku begitu rewel
ingin melihat sunset saat senja tiba.
“Gimana kalo di sini?” tanya
Banyu.
“Ya udah gapapa, terserah lo
ajah,” jawabku.
Banyu memesankanku indomie
kari+telor serta teh manis hangat. Kami duduk berjauhan sekitar 1 meter. Tak
ada tanda-tanda sebuah keromantisan. Kita hanya menceritakan apa saja yang bisa
diceritakan. Inilah momen yang aku tunggu. Bercerita. Aku tak pernah
mengharapkan akan bermesraan atau saling mengutarakan rasa. Karena , aku yakini
bahwa rasaku adalah rasa paling sederhana, aku bedakan dengan rasa-rasa
masalalu yang selalu vulgar dan terlihat arogan. Ini rasa sederhanaku untuk
Banyuku yang sangat bersahaja di mataku.
Tampak menunduk jika menatapku, dan mengkemas dirinya dengan sangat sederhana
tetapi mewah di mataku.
Aku pun tak lupa menceritakan
tentang masalaluku dengan Summer. Mungkin benar. Aku terlalu terbuka pada
Banyu. Sedangkan, Banyu tetap menjadi Banyu yang misterius. Bukan maksudku
membahas masalalu. Aku hanya ingin Banyu tahu. Aku hanya ingin tak ada rahasia
apapun antara aku dan Banyu. Walau aku tahu nantinya Banyu mungkin akan kecewa
mendengarnya. Sungguh aku tak peduli. Aku hanya ingin jujur pada Banyu yang aku
yakini akan sangat bijak mendengar masalahku.
“Gimana setelah lo denger
semuanya, pasti lo ilfil kan sama gue?” tanyaku.
“Enggak. Biasa ajah.” Jawab
Banyu.
Ya, selalu seperti itu. Banyu
sangat datar. Susah dibaca. Berbeda seperti yang lain, kali ini aku sama sekali
tidak mampu menebaknya sedikitpun. Maka, aku hanya mengumpat harap semoga Banyu
merasakan hal yang sama sepertiku.
Sudah pukul jam 06.00 sore. Kami
masih berada di warung ini. Banyu memesankanku kembali teh hangat dan kopi
hangat untuknya. Tak lupa dia meminjamkan jaket untukku. Mungkin, karena
melihat aku yang sudah menggigil sedari tadi. Ya. Aku tak pernah tahan dengan
dingin. Aku penderita Hipotermia.
Arah obrolan kita tak pernah
mengacu pada arah hubungan ini, lebih tepatnya memang itulah yang tak pernah
diinginkan Banyu. Banyu hanya menganggapku sebagai teman baik. Itu saja cukup.
Dan aku cukup mengerti. Hari ini sebenarnya adalah hari pembuktianku bahwa
selama ini rasaku salah pada Banyu. Aku berharap setelah bertemu Banyu, aku
berpikir ulang untuk memutuskan memiliki rasa ini. Namun, pradugaku benar-benar
salah. Aku benar-benar sayang dengan Banyu dengan segala bentuk
kesederhanaannya.
Senja di atas puncak kali ini
berbeda. Kami tak saling mengungkap rasa. Aku dengan sembunyi-sembunyi
menyimpan kata-kata itu. Aku merasakan sesuatu yang lain. Rasa yang diam-diam
tetapi indah menurutku. Sunset itu begitu terlihat di tempat ini. Dialah
matahari dengan penggeraknya Sang Semesta yang juga mengijinkan aku dan Banyu
bersama-sama menikmati sunset dan hawa dingin alam dengan berbagai kesejukkan.
“Mau pulang jam berapa?” tanya
Banyu
“ Pokoknya sampai rumah jangan
sampai jam 10,”
“Oke kalau gitu kita turun jam
setengah 8,” jawabnya.
Percakapan pun dimulai kembali.
Aku sangat berterimakasih pada Tuhan untuk hari ini, telah menghadirkan Banyu.
Entah darimana aku bisa sangat menyayanginya. Dia tak setampan beberapa pria
masalalu, tak sekaya pria masalalu dan pula tak seamazing pria masalalu. Yang
aku tahu Banyu itu air, yang menyejukkan dan mengalir walau kadang dia susah
dicari. Dia Banyuku dan akan tetap begitu. Tertutup dan Misterius.
“Ayo pulang, sudah jam setengah
8,” ucap Banyu mengingatkan.
“Oh, iya,” jawabku.
Waktu terasa begitu cepat.
Hingga sepertinya aku ingin menghentikan waktuku sejenak agar bisa terus
bersama Banyu. Banyu pun mulai menghidupkan motornya. Sedangkan aku mulai
menduduki jok belakang. Kami siap meluncur ke bawah dan kembali pulang. Tak
lupa ku serahkan jaket Banyu untuk dipakainya kembali. Aku takkan tega melihat
dia berlengan pendek seperti itu. Walaupun aku kembali kedinginan. Aku
meletakkan tanganku didalam kantong jaket Banyu.
“Gue kedinginan, gue pinjem
kantong lo yah,” pintaku.
“Iya, masukin ajah gapapa,”
jawabnya.
Itu membuat kita semakin dekat.
Jantungku berdetak begitu kencang. Namun, aku harus tetap cool agar tak terlihat gugup di depan Banyu. Hingga sekitar
beberapa kilometer dan sudah menuruni daerah Puncak, aku mengeluarkan tanganku
dari kantongnya karena udara sudah tak begitu dingin.
Di perjalanan pulang, Banyu
fokus mengendarai motornya. Aku tak
ingin mengganggu Banyu dengan ocehanku yang sedari tadi kupikir tak
henti-henti. Akhirnya aku diam saja, hingga rasa kantuk itu tiba-tiba datang.
Yang aku tahu aku refleks
menyandarkan dagu dan badan besarku ini di pundak dan punggung Banyu. Aku hanya
mendengar suaranya yang samar-samar.
“Tidur ya?” tanya Banyu
“Iya,” jawabku setengah sadar.
“Pegangan,” perintahnya.
“Iya,” jawabku sambil
melingkarkan tanganku di perutnya.
Entah sampai mana itu terjadi.
Aku pun tak terlalu nyenyak tidur, Karena aku tahu itu di atas motor. Aku
sedikit takut kalau-kalau Banyu oleng dan jatuh. Namun, aku tetap tak berdaya
dan meneruskan tidur hingga aku sadar bahwa Banyu menyentuh tanganku yang
terlepas dari perutnya. Dan membenarkan peganganku.
“ Pegangan May, nanti jatoh.
Yang Bener,” Perintahnya lagi.
“Iya, “jawabku ngantuk.
Hingga akhirnya aku baru sadar
bahwa hari itu aku sedang memakai softlens dan tidak diperbolehkan tidur. Aku
memaksakan mataku untuk terbuka walau rasa kantuk itu masih ada.
“Gue lupa gue pakai
softlens,”kataku sambil mengantuk.
“Gak boleh tidur emang kalau
pake softlens?” tanya Banyu.
“Iya,” jawabku.
Namun, entah kenapa walau sudah
setengah bangun seperti itu, aku juga tak kunjung melepaskan pegangan yang
mungkin bisa dibilang itu adalah pelukan pertamaku pada Banyu. Aku merasa sangat nyaman sekali dan ingin rasanya aku
katakan saat itu,” Banyu aku sayang kamu, makasih yah.” Namun, tetap saja hal
itu tak bisa terucapkan. Kata-kata itu terlalu tabu.
Aroma
tubuhnya sampai hari ini aku masih sangat ingat. Entah dia memakai parfume apa
tetapi aku sangat nyaman bersandar di dekatnya. Punggung itu penuh ceritaku.
Rasanya kala itu aku benar-benar tak ingin melepaskan dekapanku pada Banyu.
Karena seperti tujuan awal, bahwa ini adalah akhir pengharapan. Karena Banyu
sudah dari awal memutuskan bahwa tak akan pernah menjadi lebih dari sekadar
teman. Itu yang ku tangisi. Sejarah masalalu, Summer dan Banyu adalah satu
persekawanan. Aku adalah korban masalalu yang kini menyayangi Banyu. Banyu maafkan
aku, aku sayang kamu. Malam itu, sambil mendekapnya, aku dalam hati meneteskan
airmataku di jaketnya sambil seraya mengatakan dalam hati
Tuhan mencipta rasa bukanlah hal yang tidakwajar. Jika memang
mengungkapan dan mengucap itu adalah tabu, maka ijinkan aku mencintaimu secara
diam-diam.
Kemudian aku lepaskan tanganku
dan mencoba berusaha terlihat biasa di depan Banyu.
“Makasih yah Banyu, jangan kapok
lo ngeboncengi kulkas dua pintu kaya gue,” leluconku.
“Huaaa..tenang-tenang,” tawa
Banyu.
Pertemuanku pun berakhir tepat
di depan pagar bercat hijau.
Selamat tinggal Banyu kataku dalam hati
***