Sabtu, 17 Agustus 2013

Kutukan Senja

Tautan Jeruji roda melaju tanpa rasa
Berat Sebelah
Aku Masih Subjek
Sedang Kau tetap objek

Biar Saja!
Persetan dengan mereka!
Ku kutuk kau Wahai Pujangga!

Pandangan Lebur
Hanya Punggung merasa kaku
Dan bibir kelu malu-malu

Biar Saja!
Persetan dengan mereka!
Ku kutuk kau Wahai Pujangga!

Jemariku melingkar
Di antara rusuk dan pundak
Tempat sandaran jiwa
Ini kantuk atau rindu yang tabu

Biar saja!
Persetan dengan mereka!
Ku kutuk kau Wahai Pujangga!

Jangan halangiku!
Itu senja yang ku cari!

Setiap Hari! Meski kerap dia sembunyi

Sari Wijaya

Sunset Indah itu Banyu

Ketika mengungkapkan itu tabu, maka aku memilih diam diam mencintaimu

Aku tahu ini adalah hari yang mungkin akan menjadi hari terakhir. Pertemuan dan juga akhir dari pengharapan. Tak ingin ketinggalan sedikitpun waktu untuk berusaha tampil prima di depannya. Walau memang akhir-akhir ini tubuhku merasa lemah lunglai. Mungkin, karena sedikit lelah pasca mudik kemarin. Semua aku paksakan demi bertemu dengannya. Demi janji yang hingga hari ini aku tunggu-tunggu.
Sms:
Maya    : Besok jadi kan?
Banyu   : Jadi kok J
Maya    : Jam berapa?
Banyu   : Jam 10. Ok
Maya    : Minta tolong bangunin yah, takut kesiangan . Tapi gue tetap pasang alarm kok J
Banyu   : Ok
                Sebenarnya pertemuan ini adalah pembuktian pada rasa yang ku anggap cinta. Aku hanya ingin membuktikan bahwa ini hanya rasa sesaat.
Pagi itu aku terbangun, dan mulai bersiap-siap untuk memberanikan diri pergi bersamanya. Banyu. Sosok laki-laki yang sifatnya sama seperti air. Mudah mengalir, memberi kesejukan dan kadang sangat dibutuhkan. Sudah beberapa minggu ini kami sangat dekat. Tidak! Mungkin aku yang menggebu merasa dekat. Aku terlalu terbawa perasaan. Kita hanya berteman, tidak lebih dari  itu menurutnya. Lagi-lagi aku keliru.
                Ku periksa handphoneku dan tak ada sama sekali pesan masuk dari Banyu. Mungkin Banyu lupa bahwa hari ini kita akan pergi. Atau memang Banyu membatalkannya secara sepihak. Aku banyak berprasangka buruk padanya.
Sms:
Maya    : Lo udah bangun?
Banyu   : Udah
Maya    : Ok, gue udah siap-siap nih, nanti kalo udah sampe pager sms yah
                Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 tepat. Namun, tak ada sama sekali kabar dari Banyu. Aku mulai khawatir. Segala kemungkinan bisa terjadi pikirku, Tak ingin banyak menduga, aku ambil handphone di dalam tas dan mengirimkan pesan singkat kepada Banyu.
Sms:
Maya    :  Dimana?
Banyu   : Ya, nanti ya
Maya    : Ok. Nanti kalau udah sampe pagar sms ya?
                Sampai pada sms terakhir Banyu tidak membalas. Aku hanya berpikir positif saja, bahwa rumah Banyu jauh untuk menjemputku. Aku sudah turun naik tangga untuk menengok keluar menunggu Banyu. Namun, dia tak kunjung datang.
Sms        :
Maya    : Lo dimana? Masih lama?
Banyu   : May, kalo sekalian abis dzuhur ajah gimana?
Maya    : Oh gitu, Ok yaudah gapapa J
                Tidak selamanya kata-kata “gapapa” dari seorang wanita itu bersifat ikhlas. Aku sangat dongkol kala itu, aku benar-benar sudah niat untuk bertemu dengannya. Akan tetapi, Banyu terlihat malas. Entah kenapa sampai hari ini aku tak tahu. Pada saat itu aku hanya berharap Banyu ingin solat dzuhur terlebih dahulu agar perjalanan kita lebih lancar. Aku pun melepas kerudungku dan kembali ke kamar.
                Hari ini aku tak ingin menulis status apapun di media sosial, aku tak bercerita kepada siapapun tentang perjalanan ini termasuk orangtua. Aku takut tak diijinkan dan akan mengagalkan perjalanan ini. Harapku, hari ini akan menjadi hari terbaik untukku. Meski, aku tahu bahwa Banyu tak mungkin merasa hal itu.
***
                “Sorry, tadi lagi di jalan jadi gak diangkat,” ucap Banyu.
                “Iya gapapa, Cuma khawatir ajah lo sampenya lama banget, kan lo tau gue khawatiran. Kalo lo kecelakaan di jalan gimana?” jawabku.
                “Ya, enggaklah. Hehe.. Udah siap nih kita,” tanya Banyu.
                “Siap,” jawabku.
                Walaupun motor Banyu lebih kecil daripada motor seseorang  tahun lalu yang sama mengajakku ke tempat ini, tetapi aku yakin motor ini lebih kuat daripada motor tahun lalu. Keyakinan itu aku dapatkan dari cerita Banyu yang sudah mengelilingi beberapa daerah dengan motor itu. Aku menyebutnya si macan. Terlebih lagi dengan pengendaranya yang selalu membuatku yakin bahwa dia itu kuat dan tangguh. Seperti slogan hidupnya. “Kit harus selalu tampil prima”.
                Roda motor dari sela-sela jeruji itu terus melaju kencang. Sedikit cemas karena postur badanku yang tak tergolong kurus. Aku takut ban motor ini bocor. Namun, Tuhan hari ini berpihak padaku. Kami sama sekali tak mendapat hambatan. Kecuali macet. Selepas hari raya lebaran, kawasan Puncak memang ramai kendaraan. Sehingga membuat Banyu mencari alternatif  jalan lain untuk menghindari macet. Aku belum pernah melewati jalan ini. Dan ini kali pertamanya aku melewati jalan berbelok belok dengan tanjakan dan turunan yang sangat cukup membuatku ketakutan. Terlebih lagi jalanan itu sama macetnya dan tak cukup lebar.
                “Ini mah namanya sama ajah bukan jalan alternatif,” gerutuku.
                Banyu sangat berbeda dengan Summer. Walau kadang sering ingin menabrak orang karena oleng, Banyu tak sungkan sungkan meminta maaf. Sedangkan Summer begitu sangat mencekam. Kadang jika ada yang menyerempetnya, dia suka memasang wajah marah dan tak segan-segan mengucapkan kata kasar. Aku sebagai seseorang yang mengingatkan sambil seraya mengucapkan sabar dan mengusap-usap pundaknya.
                Perjalanan panjang itu membuat aku merasa sangat dekat. Banyu mulai melihat-lihat tempat mana yang sangat cocok untuk kita singgah sekadar bercerita ataupun melihat sunset yang sedari tadi aku ucapkan. Ya. Aku begitu rewel ingin melihat sunset saat senja tiba.
                “Gimana kalo di sini?” tanya Banyu.
                “Ya udah gapapa, terserah lo ajah,” jawabku.
                Banyu memesankanku indomie kari+telor serta teh manis hangat. Kami duduk berjauhan sekitar 1 meter. Tak ada tanda-tanda sebuah keromantisan. Kita hanya menceritakan apa saja yang bisa diceritakan. Inilah momen yang aku tunggu. Bercerita. Aku tak pernah mengharapkan akan bermesraan atau saling mengutarakan rasa. Karena , aku yakini bahwa rasaku adalah rasa paling sederhana, aku bedakan dengan rasa-rasa masalalu yang selalu vulgar dan terlihat arogan. Ini rasa sederhanaku untuk Banyuku yang  sangat bersahaja di mataku. Tampak menunduk jika menatapku, dan mengkemas dirinya dengan sangat sederhana tetapi mewah di mataku.
                Aku pun tak lupa menceritakan tentang masalaluku dengan Summer. Mungkin benar. Aku terlalu terbuka pada Banyu. Sedangkan, Banyu tetap menjadi Banyu yang misterius. Bukan maksudku membahas masalalu. Aku hanya ingin Banyu tahu. Aku hanya ingin tak ada rahasia apapun antara aku dan Banyu. Walau aku tahu nantinya Banyu mungkin akan kecewa mendengarnya. Sungguh aku tak peduli. Aku hanya ingin jujur pada Banyu yang aku yakini akan sangat bijak mendengar masalahku.
                “Gimana setelah lo denger semuanya, pasti lo ilfil kan sama gue?” tanyaku.
                “Enggak. Biasa ajah.” Jawab Banyu.
                Ya, selalu seperti itu. Banyu sangat datar. Susah dibaca. Berbeda seperti yang lain, kali ini aku sama sekali tidak mampu menebaknya sedikitpun. Maka, aku hanya mengumpat harap semoga Banyu merasakan hal yang sama sepertiku.
                Sudah pukul jam 06.00 sore. Kami masih berada di warung ini. Banyu memesankanku kembali teh hangat dan kopi hangat untuknya. Tak lupa dia meminjamkan jaket untukku. Mungkin, karena melihat aku yang sudah menggigil sedari tadi. Ya. Aku tak pernah tahan dengan dingin. Aku penderita Hipotermia.
                Arah obrolan kita tak pernah mengacu pada arah hubungan ini, lebih tepatnya memang itulah yang tak pernah diinginkan Banyu. Banyu hanya menganggapku sebagai teman baik. Itu saja cukup. Dan aku cukup mengerti. Hari ini sebenarnya adalah hari pembuktianku bahwa selama ini rasaku salah pada Banyu. Aku berharap setelah bertemu Banyu, aku berpikir ulang untuk memutuskan memiliki rasa ini. Namun, pradugaku benar-benar salah. Aku benar-benar sayang dengan Banyu dengan segala bentuk kesederhanaannya.
                Senja di atas puncak kali ini berbeda. Kami tak saling mengungkap rasa. Aku dengan sembunyi-sembunyi menyimpan kata-kata itu. Aku merasakan sesuatu yang lain. Rasa yang diam-diam tetapi indah menurutku. Sunset itu begitu terlihat di tempat ini. Dialah matahari dengan penggeraknya Sang Semesta yang juga mengijinkan aku dan Banyu bersama-sama menikmati sunset dan hawa dingin alam dengan berbagai kesejukkan.
                “Mau pulang jam berapa?” tanya Banyu
                “ Pokoknya sampai rumah jangan sampai jam 10,”
                “Oke kalau gitu kita turun jam setengah 8,” jawabnya.
                Percakapan pun dimulai kembali. Aku sangat berterimakasih pada Tuhan untuk hari ini, telah menghadirkan Banyu. Entah darimana aku bisa sangat menyayanginya. Dia tak setampan beberapa pria masalalu, tak sekaya pria masalalu dan pula tak seamazing pria masalalu. Yang aku tahu Banyu itu air, yang menyejukkan dan mengalir walau kadang dia susah dicari. Dia Banyuku dan akan tetap begitu. Tertutup dan Misterius.
                “Ayo pulang, sudah jam setengah 8,” ucap Banyu mengingatkan.
                “Oh, iya,” jawabku.
                Waktu terasa begitu cepat. Hingga sepertinya aku ingin menghentikan waktuku sejenak agar bisa terus bersama Banyu. Banyu pun mulai menghidupkan motornya. Sedangkan aku mulai menduduki jok belakang. Kami siap meluncur ke bawah dan kembali pulang. Tak lupa ku serahkan jaket Banyu untuk dipakainya kembali. Aku takkan tega melihat dia berlengan pendek seperti itu. Walaupun aku kembali kedinginan. Aku meletakkan tanganku didalam kantong jaket Banyu.
                “Gue kedinginan, gue pinjem kantong lo yah,” pintaku.
                “Iya, masukin ajah gapapa,” jawabnya.
                Itu membuat kita semakin dekat. Jantungku berdetak begitu kencang. Namun, aku harus tetap cool agar tak terlihat gugup di depan Banyu. Hingga sekitar beberapa kilometer dan sudah menuruni daerah Puncak, aku mengeluarkan tanganku dari kantongnya karena udara sudah tak begitu dingin.
                Di perjalanan pulang, Banyu fokus  mengendarai motornya. Aku tak ingin mengganggu Banyu dengan ocehanku yang sedari tadi kupikir tak henti-henti. Akhirnya aku diam saja, hingga rasa kantuk itu tiba-tiba datang. Yang aku tahu aku refleks menyandarkan dagu dan badan besarku ini di pundak dan punggung Banyu. Aku hanya mendengar suaranya yang samar-samar.
                “Tidur ya?” tanya Banyu
                “Iya,” jawabku setengah sadar.
                “Pegangan,” perintahnya.
                “Iya,” jawabku sambil melingkarkan tanganku di perutnya.
                Entah sampai mana itu terjadi. Aku pun tak terlalu nyenyak tidur, Karena aku tahu itu di atas motor. Aku sedikit takut kalau-kalau Banyu oleng dan jatuh. Namun, aku tetap tak berdaya dan meneruskan tidur hingga aku sadar bahwa Banyu menyentuh tanganku yang terlepas dari perutnya. Dan membenarkan peganganku.
                “ Pegangan May, nanti jatoh. Yang Bener,” Perintahnya lagi.
                “Iya, “jawabku ngantuk.
                Hingga akhirnya aku baru sadar bahwa hari itu aku sedang memakai softlens dan tidak diperbolehkan tidur. Aku memaksakan mataku untuk terbuka walau rasa kantuk itu masih ada.
                “Gue lupa gue pakai softlens,”kataku sambil mengantuk.
                “Gak boleh tidur emang kalau pake softlens?” tanya Banyu.
                “Iya,” jawabku.
                Namun, entah kenapa walau sudah setengah bangun seperti itu, aku juga tak kunjung melepaskan pegangan yang mungkin bisa dibilang itu adalah pelukan pertamaku pada Banyu. Aku merasa  sangat nyaman sekali dan ingin rasanya aku katakan saat itu,” Banyu aku sayang kamu, makasih yah.” Namun, tetap saja hal itu tak bisa terucapkan. Kata-kata itu terlalu tabu.
Aroma tubuhnya sampai hari ini aku masih sangat ingat. Entah dia memakai parfume apa tetapi aku sangat nyaman bersandar di dekatnya. Punggung itu penuh ceritaku. Rasanya kala itu aku benar-benar tak ingin melepaskan dekapanku pada Banyu. Karena seperti tujuan awal, bahwa ini adalah akhir pengharapan. Karena Banyu sudah dari awal memutuskan bahwa tak akan pernah menjadi lebih dari sekadar teman. Itu yang ku tangisi. Sejarah masalalu, Summer dan Banyu adalah satu persekawanan. Aku adalah korban masalalu yang kini menyayangi Banyu. Banyu maafkan aku, aku sayang kamu. Malam itu, sambil mendekapnya, aku dalam hati meneteskan airmataku di jaketnya sambil seraya mengatakan dalam hati
                Tuhan mencipta rasa bukanlah hal yang tidakwajar. Jika memang mengungkapan dan mengucap itu adalah tabu, maka ijinkan aku mencintaimu secara diam-diam.
                Kemudian aku lepaskan tanganku dan mencoba berusaha terlihat biasa di depan Banyu.
                “Makasih yah Banyu, jangan kapok lo ngeboncengi kulkas dua pintu kaya gue,” leluconku.
                “Huaaa..tenang-tenang,” tawa Banyu.
                Pertemuanku pun berakhir tepat di depan pagar bercat hijau.
Selamat tinggal Banyu  kataku dalam hati
               
***