Aku pernah bermain catur. Nuansanya hanya hitam putih. Tak
ada abu-abu. Sang raja dilindungi dari beberapa ajudan yang mempunyai tugas
mengalahkan lawannya. Pion-pion kecil yang melindungi para ajudan dan raja
dikeluarkan awal. Kata bapakku, agar ajudan bisa melangkah. Atau pion kecil itu
bisa jadi umpan untuk lawan. Dengan kata lain, pion tak apa jika dibiarkan mati
demi kemenangan.
“Skak .. ,” seru ayahku.
“Ah, aku kalah lagi,” ucapku.
“Ya, jelaslah kamu tidak pernah memberikan umpan pada Ayah.
Kamu asik mempertahankan pion-pion tak
berguna itu. Kamu takut.” Jawab Ayahku.
“Aku tak ingin mengorbankan hal kecil yah untuk sebuah
kemenangan besar. Raja tidak akan tahan hidup tanpa rakyat kan?” sanggahku.
“Tapi ini permainan. Semua harus mengert taktik.” Jawab Ayah.
Entah mungkin aku yang selalu serius menanggapi sebuah
permainan. Itu sebab aku tak pernah ingin bermain-main dengan kata-kata “umpan”.
Pion itu punya hak hidup. Dialah pahlawan sebenarnya ketimbang beberapa ajudan
seperti ster, benteng, ataupun kuda yang dijalankan Ayah untuk menskak mat Raja
ku.
Sama halnya seperti kondisi kampusku. Hari ini kita seperti
pion-pion itu yang dijadikan umpan demi satu tujuan besar yang tidak pernah
kita ketahui. Untuk apa pembangunan ini semua, jika semakin sempitnya ruang
dialog antar kita. Untuk apa segudang kegiatan senang-senang itu semua jika
membuat kita lupa akan hakikat mahasiswa.
Aku tertegun kembali, pada kasus yang kini terjadi di
kampusku. “Building Feature Leader” sebuah slogan yang sangat gagah dan mewah
terpampang di pintu utama kampus. Entah itu sebuah kebanggaan atau rasa
prihatin di dalamnya. Yang aku tahu, aku hanyalah mahasiswa yang tak punya
kekuasaan apapun di sini. Kabar tentang korupsi yang dilakukan oleh beberapa
petinggi kampus membuatku semakin patah semangat mengilhami arti suci tujuan pendidikan.
Aku cukup kecewa. Apalagi ini adalah kampus pendidikan.
“Heh, melamun. Ayo jalan!” seru Ayahku.
“Skak ..” jawabku.
“Hey, berani sekali kamu menskak tanpa umpan. Yakin?” ucap
Ayahku.
“Apa sih? Aku serius. Aku ingin menyerang tanpa mengorbankan
siapapun ayah.” Jawabku.
“Kamu, nanti bisa kalah!”
“Itu lebih baik daripada makan bangkai teman sendiri.” Jawabku
sambil pergi ke kamar.
Ayah mungkin heran kenapa aku seserius itu memainkan catur
ini. Ya. Aku pergi ke kamar hanya untuk merenungi kejadian hari ini. Aksi
kekerasan yang dilakukan oknum pada sebuah lembaga pers di kampus menjadi
renungan keduaku. Bagaimana bisa slogan yang selalu bergeming di awal Masa
Pengenalan Akademik kepada Mahasiswa baru “KITA SATU” malah menjadi ludah yang
ditelan sendiri. Dari mana datangnya kata satu? Jika hari ini itu semua
dilaknati.
Aku mungkin terlalu keras berpikir. Hingga aku tak sadar,
bahwa hidungku sudah berlumuran darah. Aku mimisan untuk kedua kalinya. Sambil
menghapus darah ini dengan tisu. Aku letakkan tisu yang sejak semalam menumpuk
di meja rias. Hingga ibuku memarahiku saat masuk ke kamarku melihat banyaknya
tisu kotor di lantai kamar.
“Kamu, bereskan dulu kamarmu. Banyak sampah. Tisu berserakan
dimana-mana. Jorok sekali.” Ucap Ibuku.
“Iya bu,”jawabku.
Pemilik rumah biasanya memang selalu cerewet. Ya mungkin itu
demi kebersihan rumah juga. Sama halnya dengan lembaga itu, terlalu cerewet
mengkomentari rumahnya sendiri (Universitas) demi tujuan bersihnya sistem
kampus dan budaya kampus yang tidak berpihak pada mahasiswa. Namun, kenapa hal
tersebut malah menjadi ancaman.
Omelan ibu hari ini, malah menyadarkan aku bahwa kita
benar-benar harus menjaga kebersihan rumah kita sendiri. Bukan hanya aku saja
yang sering dimarahi. Kadang ayah, kakak, dan adikku juga sering dimarahi.
Namun, kita semua tak pernah menganggap itu semua adalah ancaman. Kenapa di
kampusku itu semua bisa terjadi? Apalagi jika balasannya pun hingga berujung
pada tindakan kekerasan. Jika aku andaikan, apa mungkin aku tega memukul ibuku
sendiri yang memberikan kritik yang membangun untuk diriku. Kupikir itu sangat
tidak mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar