Rabu, 28 Agustus 2013

KITA (Katanya) SATU!!!

Aku pernah bermain catur. Nuansanya hanya hitam putih. Tak ada abu-abu. Sang raja dilindungi dari beberapa ajudan yang mempunyai tugas mengalahkan lawannya. Pion-pion kecil yang melindungi para ajudan dan raja dikeluarkan awal. Kata bapakku, agar ajudan bisa melangkah. Atau pion kecil itu bisa jadi umpan untuk lawan. Dengan kata lain, pion tak apa jika dibiarkan mati demi kemenangan.

“Skak .. ,” seru ayahku.
“Ah, aku kalah lagi,” ucapku.
“Ya, jelaslah kamu tidak pernah memberikan umpan pada Ayah. Kamu asik  mempertahankan pion-pion tak berguna itu. Kamu takut.” Jawab Ayahku.
“Aku tak ingin mengorbankan hal kecil yah untuk sebuah kemenangan besar. Raja tidak akan tahan hidup tanpa rakyat kan?” sanggahku.
“Tapi ini permainan. Semua harus mengert taktik.” Jawab Ayah.

Entah mungkin aku yang selalu serius menanggapi sebuah permainan. Itu sebab aku tak pernah ingin bermain-main dengan kata-kata “umpan”. Pion itu punya hak hidup. Dialah pahlawan sebenarnya ketimbang beberapa ajudan seperti ster, benteng, ataupun kuda yang dijalankan Ayah untuk menskak mat Raja ku.
Sama halnya seperti kondisi kampusku. Hari ini kita seperti pion-pion itu yang dijadikan umpan demi satu tujuan besar yang tidak pernah kita ketahui. Untuk apa pembangunan ini semua, jika semakin sempitnya ruang dialog antar kita. Untuk apa segudang kegiatan senang-senang itu semua jika membuat kita lupa akan hakikat mahasiswa.

Aku tertegun kembali, pada kasus yang kini terjadi di kampusku. “Building Feature Leader” sebuah slogan yang sangat gagah dan mewah terpampang di pintu utama kampus. Entah itu sebuah kebanggaan atau rasa prihatin di dalamnya. Yang aku tahu, aku hanyalah mahasiswa yang tak punya kekuasaan apapun di sini. Kabar tentang korupsi yang dilakukan oleh beberapa petinggi kampus membuatku semakin patah semangat mengilhami arti suci tujuan pendidikan. Aku cukup kecewa. Apalagi ini adalah kampus pendidikan.

“Heh, melamun. Ayo jalan!” seru Ayahku.
“Skak ..” jawabku.
“Hey, berani sekali kamu menskak tanpa umpan. Yakin?” ucap Ayahku.
“Apa sih? Aku serius. Aku ingin menyerang tanpa mengorbankan siapapun ayah.” Jawabku.
“Kamu, nanti bisa kalah!”
“Itu lebih baik daripada makan bangkai teman sendiri.” Jawabku sambil pergi ke kamar.

Ayah mungkin heran kenapa aku seserius itu memainkan catur ini. Ya. Aku pergi ke kamar hanya untuk merenungi kejadian hari ini. Aksi kekerasan yang dilakukan oknum pada sebuah lembaga pers di kampus menjadi renungan keduaku. Bagaimana bisa slogan yang selalu bergeming di awal Masa Pengenalan Akademik kepada Mahasiswa baru “KITA SATU” malah menjadi ludah yang ditelan sendiri. Dari mana datangnya kata satu? Jika hari ini itu semua dilaknati.

Aku mungkin terlalu keras berpikir. Hingga aku tak sadar, bahwa hidungku sudah berlumuran darah. Aku mimisan untuk kedua kalinya. Sambil menghapus darah ini dengan tisu. Aku letakkan tisu yang sejak semalam menumpuk di meja rias. Hingga ibuku memarahiku saat masuk ke kamarku melihat banyaknya tisu kotor di lantai kamar.

“Kamu, bereskan dulu kamarmu. Banyak sampah. Tisu berserakan dimana-mana. Jorok sekali.” Ucap Ibuku.
“Iya bu,”jawabku.

Pemilik rumah biasanya memang selalu cerewet. Ya mungkin itu demi kebersihan rumah juga. Sama halnya dengan lembaga itu, terlalu cerewet mengkomentari rumahnya sendiri (Universitas) demi tujuan bersihnya sistem kampus dan budaya kampus yang tidak berpihak pada mahasiswa. Namun, kenapa hal tersebut malah menjadi ancaman.

Omelan ibu hari ini, malah menyadarkan aku bahwa kita benar-benar harus menjaga kebersihan rumah kita sendiri. Bukan hanya aku saja yang sering dimarahi. Kadang ayah, kakak, dan adikku juga sering dimarahi. Namun, kita semua tak pernah menganggap itu semua adalah ancaman. Kenapa di kampusku itu semua bisa terjadi? Apalagi jika balasannya pun hingga berujung pada tindakan kekerasan. Jika aku andaikan, apa mungkin aku tega memukul ibuku sendiri yang memberikan kritik yang membangun untuk diriku. Kupikir itu sangat tidak mungkin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar