Diam duduk termangu di
sebuah gedung tua tetapi kini
sudah mengalami perombakan ulang. Lantai 3 g304 menjadi tujuan akhir mahasiswa
tingkat ke tiga jurusan sejarah. Terlambat 20 menit sudah jelas-jelas membuat
dosen geram dengan kebiasaan yang dilakukan secara berulang. Mungkin juga bosan
dengan kebiasaan yang melulu tak pernah on time. Sarjay begitulah nama
panggilanku.
Dari semester satu memang selalu bermasalah dengan ketepatan
waktu. Kadang aku bisa menjadi anak terajin tingkat dewa, atau kadang juga
malas bagai kambing kala hujan. Namun, jika berhasil dipersentasekan malasku
mungkin lebih tinggi angkanya. Malas adalah hak. Itu pernyataan yang patut
untuk ditertawakan. Suatu ketika aku pernah bangun terlambat saat SMA. Aku yang
bangun jam 6 pagi mulai bergegas mandi terburu-buru. Aku lupa hari itu perdana
Ulangan Akhir Sekolah. Sepatu wariorku ku ikat mati karena terburu-buru,
sedikit merapikan kerudung yang juga miring dan juga tak kunjung rapi. Memang,
akulah si jilbab aneh yang selalu saja membuat keonaran.
Hari itu aku tak mandi, hanya sedikit menggosok gigi dan
cuci muka sedikit. Semua berantakan.
Namun, untunglah aku masih saja bisa diampuni dan diberikan ijin untuk masuk.
Sekolahku setiap UAS pasti mengacak urut tempat duduk dan biasanya digabung
dengan kakak kelas. Ini hal yang paling menyebalkan buatku, karena sudah
pastilah ini bisa jadi boomerang buatku dipermalukan bersama teman sekelas dan
juga kakak kelas.
Ku percepat langkahku untuk satu tujuan yaitu nomer urut
bangkuku. Setelah tepat berada di depan kelas XII IPA 2 aku mengetuk pintu.
Syukurlah pengawas ujiannya Bu Sri guru sejarah yang tidak berperawakan seram.
Bu Sri seumuran ibuku, umurnya mungkin kepala 4, tapi masih kekar dan berisi.
“Aduh terlambat, cepet mba cari bangku,” seru Bu Sri.
Aku mulai mencari dimana tempat dudukku, Tiba-tiba ada
pancaran dari kerumunan anak-anak ini, Ya, seorang kakak kelas yang menjadi
favorite seluruh sekolah dan juga tampan duduk denganku. Aku mendapat bangku
yang juga tepat bersebelahan dengannya. Entah aku harus senang atau memang
minder lantaran pagi ini tak mandi. Sialnya lagi, aku hari ini sangat
berantakan dan lupa memakai deodorant serta parfume. Semua temen sekelasku
senyum-senyum iri melihat hari ini aku duduk dengan kakak kelasku ini. Namanya
sangat berkarisma seperti wajah dan kepintarannya, Digjaya Utama. Dia kakak
dari teman sepermainanku Cendikia Dewi. Dia sering disebut Pak Haji dengan
teman-temannya karena dia sudah pernah pergi haji.
“Permisi kak, saya duduk di sini,” kataku lembut dengan
cengangas cengengesan.
Kemudian dia membalas senyumku dengan lembut. Arghh..
rasanya ingin terbang dan melayang-layang di angkasa mendapatkan senyumnya.
Dari kedua lesung pipinya yang juga mengiringi senyuman manisnya.
Salah satu teman wanita sekelasku yang juga kagum berat
dengannya, menyinyir iri melihatku, kemudian aku mulai menoleh diam-diam kearah
temanku dan memberikan senyum meledeknya dengan sedikit melet.
“Ish..” ketus Susan sinis.
Susan memang teman sekelasku yang serba ribet. Memusingkan.
Geliatnya memang sangat girly, Nampak pada benda-benda miliknya yang serba
pink. Tak pernah jauh dari kaca berwarna pink, lipgloss pink, dan juga alat
kosmetik lainnya yang bernuansa pink. Seringkali pandangannya tidak fokus jika
melihat laki-laki tampan yang lewat.
Sialnya aku meledek Susan disaat hari ini aku membutuhkan
bantuannya. “Woy, susan.. minta minyak wangi dong,” seruku lirih agar
tak terdengar Kak Diga.
Dengan ketus susan menjawab,”ogah”.
Ah sial. Susan menyebalkan. Aku benar-benar harus menjauh
dari Kak Diga, terlalu dekat bisa membuatnya ilfil nanti ketika mencium aroma
tubuhku yang tidak mandi pagi ini. Wah, hari ini terasa begitu lama, aku ingin
cepat-cepat pulang. Hari ini aku bulatkan tekad untuk langsung pulang, tidak
kumpul OSIS ataupun teman-teman untuk bermain dahulu. Aku ingin mandi. Titik
Hari ini ulangan Agama, seharusnya aku bisa menanyakan
soal-soal sulit ini ke Kak Diga, tapi tidak mungkin. Aku belum mandi, aku takut
dia tak nyaman denganku. Sial, sial, sial. Tuhan, ayolah percepat waktu, aku
ingin segera pulang. Aku ingin mandi.
Susan menatapku dengan senyum olok. Aku tak bisa berpikir
dengan kondisi seperti ini. Aku ingin pulang. Aku ingin mandi. Ya setidaknya
hanya itu yang bisa diucapkanku hari ini. Aku ingin mandi.
Hari ini menyebalkan,
lalu lalang pula kakak kelas yang mencoba bertanya ke kak Diga dari arah
kiriku, sehingga memungkinkan Kak Diga mendekat ke arahku. Aku tak mungkin
menjauh dan merasa sok jijik karena sebenarnya bukan dia yang menjijikan tapi
diriku ini. Yang belum mandi. Pfftt..
Pesona Kak Diga meluluhlantahkan imajinasiku untuk menjawab
soal-soal agama yang dipenuhi dengan huruf melingkar-lingkar ini. Tuhan Allah
ijinkanku pulang. Aku ingin mandi. Sesekali kak Diga menoleh ke arahku dan
senyum serta menanyakan. “Ada yang susah nggak?” dengan ramah.
Aku tak sanggup menjawab pertanyaannya bahkan senyumnya yang
100% manis, aku hanya mampu menggelengkan kepala, karena takut aroma gigiku
yang hanya ku sikat dengan kilat tadi pagi mengganggu penciuman Kak Diga. Setelah
satu jam berlalu, Ujian hari ini pun selesai juga akhirnya. Aku bergegas dan
menggemblok tas ranselku untuk berlari ke luar kelas dan pulang.
“Woy, sarjay mau kemana lo?” teriak salah seorang anak OSIS
yang tak jelas wajahnya kulihat.
“Pulang” jawabku keras sambil berlari.
Namun, aku tertabrak oleh teman-teman OSIS yang lain, kali
ini sangat dekat. “Eh, mau kemana?” tanya Sella.
“Mau pulang sel, gua beum mandi,” jawabku cepat.
Sela yang tertawa dan meneriakanku,” Ih,, dasar jorok lu”.
***
(bersambung)