Jumat, 30 Agustus 2013

curhat asal-asalan

Hari ini tangis bukan penyelesaian. Tapi, menangis itu manusiawi. Tuhan udah benar-benar membuka hati gue. Dia bener-bener menunjukkan secara perlahan. Daripada keluar rumah, sejak setahun yang lalu, gue emang lebih suka menikmati kamar atau rumah. Gue takut dengan matahari. Gue takut dengan bulan, angin dan benda-benda jahat lain di luar sana. 

Gue yang sudah biasa sendiri, kini semakin sendiri. Anehnya kalau lagi ngumpul sama temen-temen, gue suka keliatan seperti orang yang paling bahagia dengan suara ketawa gue yang super duper besar, atau sekedar lelucon yang sama sekali untuk menghibur diri sendiri. Ya, gue adalah makhluk yang paling introvert sebenernya. Suka memendam apa yang menurut gue gak usah diceritain. Walau kadang, sebenernya gue juga pengen ngeluhin semua masalah gue.

Dulu, pernah ada orang itu, tetapi sekarang gue tau dia udah pergi. Dia udah bahagia dengan pilihan hidupnya. Jadi, mungkin kalau dia baca tulisan gue, dia adalah orang yang paling tahu kenapa gue begini. Ya, seharusnya. 

Gak masalah sebenernya dengan kesendirian gue ini. Gue menikmati itu semua. Yang paling penting, gue gak mau ngecewai keluarga gue untuk yang kedua kali. Menarik nafas itulah salah satu tindakan pertama gue ketika gue mulai lelah dengan semua ini. Buat lo yang sekarang udah bahagia, kalo lo baca tulisan ini, mungkin lo harusnya bisa lebih bijaksana dan bisa lebih arif membaca setiap tulisan gue yang sekarang udah lo anggap sampah. Segala bentuk janji, itu semua udah gue kubur. Karena gue tau satu-satunya yang mampu menepati janji adalah Tuhan.

Memang kadang gue terlalu terlihat tolol, sampai mampu sejauh ini menunggu orang yang memang sudah jelas-jelas membenci. Beberapa orang yang datang dan menawarkan untuk menjadi teman, dengan terang-terangan gue TOLAK! Terlalu bodoh mengilhami apa yang kadang udah gue jadiiin KREDO!. 

Kadang kita suka lupa, bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatunya secara bernegasi. Seperti mencintai dan membenci. Jika, tahu akhirnya akan berujung negatif seperti ini, gue memilih untuk tidak pernah memnerima dia masuk ke kehidupan gue dulu. Dia membenci. Sedangkan gue gak tahu apa yang dia benci dari gue. Jika dilihat ini adalh cinta luar biasa. Sebenernya ini bukan cinta. Tapi ini kebencian. Kebencian dia pada masalalunya yang mengakibatkan gue untuk terjun langusng menyembuhkan, sedangkan ketika dia sudah sembuh, dia bisa mencari lagi apa yang dia mau. 

Perempuan, adalah satu-satunya tokoh yang merugi DALAM PERCINTAAN. Dia luka, dia akan membekas. Identik dengan perasaan. Nah, ini juga yang gue rasakan. Sekarang, tinggal bekasnya saja yang susah sembuhnya. Luka gak bakal pernah sembuh. Gak akan hilang menjadi seperti semula. Yang bisa gue lakuin adalah ikhtiar. Walaupun gue gak pernah menunjukkan kealiman gue, tetapi gue masih percaya bahwa Tuhan selalu bersama gue. 

Waktu yang kadang gak pernah gue sisihkan Kepada-Nya. Sekarang sebisa mungkin gue berkomunikasi kepada-Nya. Ini proses pendewasaan yang sebenarnya. Secara nyata gue emang sendiri, tetapi secara batiniah Tuha  selalu nemenin gue, dan secara terang-terangan Tuhan menunjukkan bahwa janji lo yang dulu bener-bener udah lo ingkarin. Dengan begitu selesai sudah semuanya. Gue gak perlu cemas dan resah selalu menunggu. Gue siap menatap matahari lagi. Di dunia luar nanti, gue akan lebih berhati-hati bahwa janji itu BUKAN BARANG BIASA, TETAPI IKRAR. 


Dan bagi Banyu. Orang yang kini gue sayangi. Gue gak pernah memaksa. Gue meletakkan lo bukan sebagai sebuah keinginan semata yang suatu saat bisa ajah gue buang. Tetapi, Banyu adalah air. Dia adalah sebuah kebutuhan. Kebutuhan buat gue, keluarganya bahkan teman-temannya. Dan suatu saat gue yakin Banyu akan bahagia dengan wanita pilihannya. Tuhan terimakasih, walau kini gue tetaplah Maya yang sendiri, tetapi gue cukup bahagia karena bukan tercipta sebagai Maya yang menyakiti makhluk lain :) Karena Maya diciptakan Tuhan untuk mencintai, menyayangi sesama, meredam benci dan membantu mahkluk lain menjadi lebih bahagia.

Rabu, 28 Agustus 2013

KITA (Katanya) SATU!!!

Aku pernah bermain catur. Nuansanya hanya hitam putih. Tak ada abu-abu. Sang raja dilindungi dari beberapa ajudan yang mempunyai tugas mengalahkan lawannya. Pion-pion kecil yang melindungi para ajudan dan raja dikeluarkan awal. Kata bapakku, agar ajudan bisa melangkah. Atau pion kecil itu bisa jadi umpan untuk lawan. Dengan kata lain, pion tak apa jika dibiarkan mati demi kemenangan.

“Skak .. ,” seru ayahku.
“Ah, aku kalah lagi,” ucapku.
“Ya, jelaslah kamu tidak pernah memberikan umpan pada Ayah. Kamu asik  mempertahankan pion-pion tak berguna itu. Kamu takut.” Jawab Ayahku.
“Aku tak ingin mengorbankan hal kecil yah untuk sebuah kemenangan besar. Raja tidak akan tahan hidup tanpa rakyat kan?” sanggahku.
“Tapi ini permainan. Semua harus mengert taktik.” Jawab Ayah.

Entah mungkin aku yang selalu serius menanggapi sebuah permainan. Itu sebab aku tak pernah ingin bermain-main dengan kata-kata “umpan”. Pion itu punya hak hidup. Dialah pahlawan sebenarnya ketimbang beberapa ajudan seperti ster, benteng, ataupun kuda yang dijalankan Ayah untuk menskak mat Raja ku.
Sama halnya seperti kondisi kampusku. Hari ini kita seperti pion-pion itu yang dijadikan umpan demi satu tujuan besar yang tidak pernah kita ketahui. Untuk apa pembangunan ini semua, jika semakin sempitnya ruang dialog antar kita. Untuk apa segudang kegiatan senang-senang itu semua jika membuat kita lupa akan hakikat mahasiswa.

Aku tertegun kembali, pada kasus yang kini terjadi di kampusku. “Building Feature Leader” sebuah slogan yang sangat gagah dan mewah terpampang di pintu utama kampus. Entah itu sebuah kebanggaan atau rasa prihatin di dalamnya. Yang aku tahu, aku hanyalah mahasiswa yang tak punya kekuasaan apapun di sini. Kabar tentang korupsi yang dilakukan oleh beberapa petinggi kampus membuatku semakin patah semangat mengilhami arti suci tujuan pendidikan. Aku cukup kecewa. Apalagi ini adalah kampus pendidikan.

“Heh, melamun. Ayo jalan!” seru Ayahku.
“Skak ..” jawabku.
“Hey, berani sekali kamu menskak tanpa umpan. Yakin?” ucap Ayahku.
“Apa sih? Aku serius. Aku ingin menyerang tanpa mengorbankan siapapun ayah.” Jawabku.
“Kamu, nanti bisa kalah!”
“Itu lebih baik daripada makan bangkai teman sendiri.” Jawabku sambil pergi ke kamar.

Ayah mungkin heran kenapa aku seserius itu memainkan catur ini. Ya. Aku pergi ke kamar hanya untuk merenungi kejadian hari ini. Aksi kekerasan yang dilakukan oknum pada sebuah lembaga pers di kampus menjadi renungan keduaku. Bagaimana bisa slogan yang selalu bergeming di awal Masa Pengenalan Akademik kepada Mahasiswa baru “KITA SATU” malah menjadi ludah yang ditelan sendiri. Dari mana datangnya kata satu? Jika hari ini itu semua dilaknati.

Aku mungkin terlalu keras berpikir. Hingga aku tak sadar, bahwa hidungku sudah berlumuran darah. Aku mimisan untuk kedua kalinya. Sambil menghapus darah ini dengan tisu. Aku letakkan tisu yang sejak semalam menumpuk di meja rias. Hingga ibuku memarahiku saat masuk ke kamarku melihat banyaknya tisu kotor di lantai kamar.

“Kamu, bereskan dulu kamarmu. Banyak sampah. Tisu berserakan dimana-mana. Jorok sekali.” Ucap Ibuku.
“Iya bu,”jawabku.

Pemilik rumah biasanya memang selalu cerewet. Ya mungkin itu demi kebersihan rumah juga. Sama halnya dengan lembaga itu, terlalu cerewet mengkomentari rumahnya sendiri (Universitas) demi tujuan bersihnya sistem kampus dan budaya kampus yang tidak berpihak pada mahasiswa. Namun, kenapa hal tersebut malah menjadi ancaman.

Omelan ibu hari ini, malah menyadarkan aku bahwa kita benar-benar harus menjaga kebersihan rumah kita sendiri. Bukan hanya aku saja yang sering dimarahi. Kadang ayah, kakak, dan adikku juga sering dimarahi. Namun, kita semua tak pernah menganggap itu semua adalah ancaman. Kenapa di kampusku itu semua bisa terjadi? Apalagi jika balasannya pun hingga berujung pada tindakan kekerasan. Jika aku andaikan, apa mungkin aku tega memukul ibuku sendiri yang memberikan kritik yang membangun untuk diriku. Kupikir itu sangat tidak mungkin. 

BANYU TIDAK (PERNAH) ADA

Banyu Tak ada
Saat haus
Banyu Hilang
Saat badan Kotor
Banyu Pergi
Saat debu mengancam mata
Banyu Takut
Banyu Tak ada
Banyu Binasa
Banyu Tak Ada
Banyu Malu
Banyu Tak Ada
Banyu Tunduk
Banyu Tak Ada
Banyu Takluk
Banyu Tak pernah ada

Aku Kecewa