Selasa, 08 Mei 2012

Frustasi


Sendiri itu mati, mati itu menyendiri

 
Seperti kabut menyela di antara dahan-dahan basah berembun. Banyak hal yang terungkap di ujung jalan, seperti suara katak yang menyerupai suara dengkuran. Atau bayang-bayang stalaktit stalagmite di antara badan goa sangat mengingatkanku pada tubuh raksasa besar yang berhati lembut. Aku sudah sangat jauh berjalan. Langit itu sudah bosan dan bingung melihat arah tujuan perjalanan ini yang sangat tidak jelas. Aku bukan tidak memegang peta. Aku bukan tidak memegang kompas, aku siapkan semuanya. Ini bukan perihal arah, bukan perihal tersesat. Namun, ini lebih tepatnya perlawanan. Aku hanya ingin menantang kaki ini, sampai dimana iya kuat berjalan.
                Senja yang elok itu ternyata tidak bertahan di setiap hari. Langit kadang merindukan kumpulan awan gelap dan sering kita sebut mendung. Ternyata tanah, tanaman, hewan dan makhluk sekitar butuh hujan. Namun, tidak untukku. Aku membencinya, karena di sana ada petir. Ada suara gemuruh seperti amarah para kaisar langit kepada umat-umat manusia yang dzalim.
                Akhirnya aku pergi ke samudera. Samudera dimana hanya ada ikan-ikan, hamparan karang membentuk istana laut, serta tumbuhan sebagai gerbang kerajaan laut nan megah. Ku coba tulis sebuah nama, nama yang selalu ku ukir di hati. Ku ukir di sela-sela kamar kecil bahkan ku rajutmya di rumah laba-laba di gudang kotor dan kusam. Di samudera aku berenang, dan berharap tubuhku terhenti hingga aku akhirnya terperangkap di palung laut dan tak kembali. Namun, apa daya tubuh ini masih kuat. Sial
                Hari ini aku berada di hutan, mencoba teriak. Namun, suara itu berbalik dalam gema tebing yang masih kokoh padahal sudah bertahun-tahun berada di puncak ketinggian yang dingin dan sendiri. Kasihan terkadang melihat tebing ini. Terdampar sendiri, hanya menjadi objek pendakian, tetapi setelah rapuh, para penanjak dengan mudah berkata, “Ah, tebingnya sudah rapuh untuk apa dipanjat lagi.” Aku seperti berkaca didiriku sendiri. Terlihat sangat kuat, padahal rapuh.
                Berada di ruangan ini pun begitu sepi, kami selalu terlihat ramai, kami selalu saja tak berhenti berdialektika, padahal masing-masing di antara kami aku tahu ada masalah hati yang tak mampu terucap dan tak bisa dirasionalkan. Entahlah, apa ini anggapanku saja, atau memang aku yang merasakan hawa masing-masing individu di ruang ini.
                Bukan ingin meyerah dengan keadaan, melainkan ini isi jiwa yang tak pernah terbayar oleh seorang manusia sekalipun. Selaras dengan air, aku selalu menanggapi setiap hal sepenuh hati, aku meyakini kebahagiaan selalu tercipta di atas tanganku sendiri. Aku rindu tangan Tuhan yang selalu membelaiku di saat ini. Hamba macam apa aku ini. Aku merengek Tuhan memberikan keajaiban, padahal aku sendiri tak mampu memberikan apapun pada Nya. Aku tak mampu menjalani kehidupan dengan seluruh perintah Nya. Aku tuntut semua hak-hak ku tetapi abai dengan kewajibanku. Aku lalai.
                Dahulu aku pernah patuh pada Nya, berani menatap matahari, dan selalu hadir saat purnama. Namun, tidak kali ini. Aku frustasi. Hilang arah dan cenderung gila. Apa yang harus aku perbuat untuk menjadi manusia seutuhnya. Aku ingin menghilang. Diterkam badai di samudera, atau terperosok ke jurang di tengah hutan. Kemerdekaan tak pernah ada di ruang-ruang hati. Semua bersinergi dalam sebuah topeng kemunafikan, Kemudian aku yang dahulu terlihat kuat jatuh di tangannya. Aku sakit dan tak tersembuhkan. Berangan tetapi tak kunjung terkabul. Merasakan keindahan yang hanya bersifat sementara. Manusia yang selalu galau. Mendapat pelajaran tetapi tak pernah mampu belajar. Semua seperti berantai. Jangan bantu aku, aku akan berdiri, berlari, dan menyusuri sampai akhirnya Dia menutup usiaku dengan sendiri.

Sari Wijaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar