Sendiri itu mati, mati itu menyendiri
Seperti kabut menyela di antara
dahan-dahan basah berembun. Banyak hal yang terungkap di ujung jalan, seperti
suara katak yang menyerupai suara dengkuran. Atau bayang-bayang stalaktit
stalagmite di antara badan goa sangat mengingatkanku pada tubuh raksasa besar
yang berhati lembut. Aku sudah sangat jauh berjalan. Langit itu sudah bosan dan
bingung melihat arah tujuan perjalanan ini yang sangat tidak jelas. Aku bukan
tidak memegang peta. Aku bukan tidak memegang kompas, aku siapkan semuanya. Ini
bukan perihal arah, bukan perihal tersesat. Namun, ini lebih tepatnya
perlawanan. Aku hanya ingin menantang kaki ini, sampai dimana iya kuat
berjalan.
Senja
yang elok itu ternyata tidak bertahan di setiap hari. Langit kadang merindukan
kumpulan awan gelap dan sering kita sebut mendung. Ternyata tanah, tanaman,
hewan dan makhluk sekitar butuh hujan. Namun, tidak untukku. Aku membencinya,
karena di sana ada petir. Ada suara gemuruh seperti amarah para kaisar langit kepada
umat-umat manusia yang dzalim.
Akhirnya
aku pergi ke samudera. Samudera dimana hanya ada ikan-ikan, hamparan karang
membentuk istana laut, serta tumbuhan sebagai gerbang kerajaan laut nan megah.
Ku coba tulis sebuah nama, nama yang selalu ku ukir di hati. Ku ukir di
sela-sela kamar kecil bahkan ku rajutmya di rumah laba-laba di gudang kotor dan
kusam. Di samudera aku berenang, dan berharap tubuhku terhenti hingga aku
akhirnya terperangkap di palung laut dan tak kembali. Namun, apa daya tubuh ini
masih kuat. Sial
Hari
ini aku berada di hutan, mencoba teriak. Namun, suara itu berbalik dalam gema
tebing yang masih kokoh padahal sudah bertahun-tahun berada di puncak
ketinggian yang dingin dan sendiri. Kasihan terkadang melihat tebing ini.
Terdampar sendiri, hanya menjadi objek pendakian, tetapi setelah rapuh, para
penanjak dengan mudah berkata, “Ah, tebingnya sudah rapuh untuk apa dipanjat
lagi.” Aku seperti berkaca didiriku sendiri. Terlihat sangat kuat, padahal
rapuh.
Berada
di ruangan ini pun begitu sepi, kami selalu terlihat ramai, kami selalu saja
tak berhenti berdialektika, padahal masing-masing di antara kami aku tahu ada
masalah hati yang tak mampu terucap dan tak bisa dirasionalkan. Entahlah, apa
ini anggapanku saja, atau memang aku yang merasakan hawa masing-masing individu
di ruang ini.
Bukan
ingin meyerah dengan keadaan, melainkan ini isi jiwa yang tak pernah terbayar
oleh seorang manusia sekalipun. Selaras dengan air, aku selalu menanggapi
setiap hal sepenuh hati, aku meyakini kebahagiaan selalu tercipta di atas
tanganku sendiri. Aku rindu tangan Tuhan yang selalu membelaiku di saat ini.
Hamba macam apa aku ini. Aku merengek Tuhan memberikan keajaiban, padahal aku
sendiri tak mampu memberikan apapun pada Nya. Aku tak mampu menjalani kehidupan
dengan seluruh perintah Nya. Aku tuntut semua hak-hak ku tetapi abai dengan
kewajibanku. Aku lalai.
Dahulu
aku pernah patuh pada Nya, berani menatap matahari, dan selalu hadir saat
purnama. Namun, tidak kali ini. Aku frustasi. Hilang arah dan cenderung gila.
Apa yang harus aku perbuat untuk menjadi manusia seutuhnya. Aku ingin
menghilang. Diterkam badai di samudera, atau terperosok ke jurang di tengah
hutan. Kemerdekaan tak pernah ada di ruang-ruang hati. Semua bersinergi dalam
sebuah topeng kemunafikan, Kemudian aku yang dahulu terlihat kuat jatuh di
tangannya. Aku sakit dan tak tersembuhkan. Berangan tetapi tak kunjung
terkabul. Merasakan keindahan yang hanya bersifat sementara. Manusia yang
selalu galau. Mendapat pelajaran tetapi tak pernah mampu belajar. Semua seperti
berantai. Jangan bantu aku, aku akan berdiri, berlari, dan menyusuri sampai
akhirnya Dia menutup usiaku dengan sendiri.
Sari Wijaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar