Bukanlah komoditas, juga bukan bisnis kepentingan, mereka sama seperti kita punya hak di tanah negeri ini.
Mengupas sejarah
bangsa ini, sama saja seperti mengupas durian memakai tangan sendiri tanpa
alat. Membutuhkan waktu lama untuk membukanya, bahkan membutuhkan bantuan dengan alat. Jugun Ianfu, sejarah yang tak
pernah terungkap di buku pelajaran sekolah ataupun di kalangan pelajar.
Namanya, kerap disebut tetapi dibiarkan saja sambil berlalu.
Jugun Ianfu merupakan istilah dari
pemerintahan Jepang terhadap wanita penghibur untuk menunjang hasrat biologis
para tentara kekaisaran Jepang di masa Perang Asia Pasifik. Istilah asing
lainnya adalah Comfort Women. Pada diskusi Jumat, tanggal 18 November 2011 di
ruang sidang Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta no.212, telah
diadakan diskusi dengan tema “Jugun Ianfu: Kejahatan Perang” oleh peneliti
bernama Indah Hapsari Mustika.
Mungkin sangat asing
mendengar kata ‘Jugun Ianfu’ dalam pandangan masyarakat awam. Dalam sejarah
perjalanan bangsapun istilah tersebut jarang didengung-dengungkan. Pada
kenyataannya Jugun Ianfu bukan merupakan perempuan
penghibur tetapi perbudakan seksual yang brutal, terencana, serta dianggap
masyarakat internasional sebagai kejahatan perang.
Mereka di bawa ke medan
perang sebagai pemuas seks para tentara perang. Perbuatan tersebut bisa
dilakukan berkali-kali sesuka hati tentara Jepang. Bahkan, tak segan-segan
memakai jalan kekerasan untuk memaksa. Apabila ada Jugun Ianfu yang terdeteksi hamil, maka para Jugun Ianfu ini
dipaksa untuk menggugurkan bayinya dengan alat yang tak layak dan dapat merusak
alat vital perempuan. Hal ini dikarenakan, untuk mencegah pembalasan dendam
jika anak tersebut lahir.
Jugun Ianfu biasanya berasal
dari Korea Selatan, Korea Utara, Cina, Filipina, Taiwan, Timor Leste, Malaysia,
dan Indonesia. Sebagian kecil di antaranya dari Belanda dan Jepang sendiri.
Dalam penelitian ini, Indah berhasil
menemukan Jugun Ianfu Indonesia
sebanyak 20 orang, dengan memverifikasi eks-HEIHO (tentara pembantu jaman
Jepang) sebanyak 20.000 orang di panti jompo di Kediri, Jawa Tengah. Mereka
diantaranya adalah Mardiyem,
Sumirah, Emah
Kastimah, Sri Sukanti
dan lain-lain.
Penelitian ini bermaksud mengungkap
sejarah Jugun Ianfu dan juga
bertujuan membantu para korban untuk mendapatkan haknya atas hak asasinya yang
telah direnggut di masa lalu. Dengan terungkapnya sejarah kelam Jugun Ianfu sebagai
kejahatan perang, maka merekapun memberikan tuntutan terhadap negara Jepang
sebagai negara yang bertanggung jawab atas program ini, khususnya Kaisar
Hirohito yang mencetuskan pertama kali program ini.
Berikut adalah tuntutan para
korban; Pemerintah
Jepang masa kini harus mengakui secara resmi dan meminta maaf bahwa perbudakan
seksual dilakukan secara sengaja oleh negara Jepang selama perang Asia Pasifik
1931-1945, Para korban
diberi santunan sebagai korban perang untuk kehidupan yang sudah dihancurkan oleh militer
Jepang, Menuntut dimasukkannya sejarah gelap Jugun Ianfu ke
dalam kurikulum sekolah di Jepang agar generasi muda Jepang
mengetahui kebenaran sejarah
Jepang.
Namun, segala macam tuntutan tersebut pun tak dapat
dipenuhi oleh Pemerintah Jepang, dan akhirnya masalah Jugun Ianfu ini dibiarkan berlarut-larut dan dikuasai oleh
oknum-oknum tertentu yang memiliki kepentingan terhadap kasus tersebut, seperti
NGO (Non Government Organization).
Hal ini pun diakui oleh peneliti sendiri, semenjak
meneliti di luar negeri seperti Korea. Kasus Jugun Ianfu sangat gemar
dibicarakan di acara televisi. Bahkan, sampai dibuatkan House of Sharing atau lebih tepatnya dikatakan Private Museum untuk para pengunjung yang ingin mendengar langsung
kesaksian dari Jugun Ianfu seolah-olah para korban dipaksa untuk mengingat
kembali terus menerus sejarah kelam masa hidupnya kepada beberapa pengunjung
berulang kali dengan dramatis.
Oleh karena itu, perlu bagi kita mengilhami nilai sejarah
yang dapat terungkap tersebut. Mempelajari sejarah atau berhasil menemukan
sejarah bukan berarti bertujuan menjualnya kembali, tetapi merefleksikan masa
lampau agar kelak masa yang akan datang menjadi lebih baik.
Sari Wijaya
Pendidikan Sejarah Reguler 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar