Selasa, 12 Februari 2013

Reading Back of Summer

Jalan kita terjal. Sampai tumit kita kaku tak berasa. Kita sudah lama berpikir dengan segudang logika. Namun, jika kau baca lagi hati kita tak mampu membohongi otak rasional kita. Selang beberapa waktu aku tak pernah menemuimu di simpangan jalan itu. Aku mencari kode-kode yang mampu mengingatkan kembali langit merah jambu kala itu.

Summer. Kau yang tinggalkan aku melalui guratan penamu. Aku iseng. Aku jenuh kubuka lagi folder mu, kubuka lagi guratan ceritamu. Masih indah sampai kini. Deretan kata itu ternyata pembual belaka. Kerdil sekali mengingatkan satu musim di antara musim-musim lain yang berebutan pasang aksi.

Seonggok daging, tak punya malu. Menjerit ditiupkan roh sang Dewata, kini kembali menggugat protes seraya memohon "Kembalikan musim itu". Musim semi yang daun-daunnya muncul hijau pekat, serta batang gontai melandai kekar untuk menopang kelopak bunga besar berwarna cerah.

Aku tak bisa protes. Aku kecil di atas kursi. Ini memang musim kemarau, yang di dalamnya dirajut doa-doa manusia. Maka, sekali lagi "Kembalikan musim itu". Musim yang diwarnai awan yang saling berkawan, serta embun pagi yang selalu siap berbagi. Bukan kebencian yang terpatri.

Harus patuh maka ku diam. Dilarang marah maka ku diam. Dilarang sedih maka ku diam. Dilarang cinta maka ku diam. Summer, aku berdiam menunggumu kembali selepas kemarau. Sekian