Minggu, 13 November 2011

Cerita Di Balik Penjara



Ayah ..
Kematian bukan kesedihan
Kehilangan bukan kerinduan
Ketakberdayaan bukan kesengsaraan
Namun, Pengorbanan itu membuatku
Berkata Bergerak untuk hidup

Dibalik jeruji itu aku lihat wajah Ayah..
Bukan rasa malu atau aib
Tetapi Perjuanganmu Bangkit
Membuatku tersadar atas hidup


Kiri..
Ada apa dengan kiri?
Tak malukah kau mempunyai ayah dari seorang kiri
Cerita bualan hegemoni penguasa
Provokasi atas kekirian
Membuatku muntah akan segala
Peraturan yang menjijikan

Karena dari tanganmu Ayah..
Aku melihat jiwa
Jiwa seorang Bapak Negeri yang terlupakan
Karena kesombongan Penguasa lupa daratan.
Terimakasih Ayah..

Sari Wijaya

Waktu Bermain Selesai



Pilu ini bukan temberang amarah
Atau syukur yang terelakkan
Selamat malam kawan
Mimpiku ku harap dapat kau lanjutkan
Sebab Tuhan tak ijinkanku

Senang bertemu denganmu
Akhirnya kertas putihku warna warni

Mungkin kau ingat
Ketika tangisku menuai hatimu
Ketika tawaku mengganggu tidurmu
Dan ketika kesalku membuahkan sedihmu
Kini percayalah, tak akan ada

Karena Tuhan
Ternyata ingin berkawan denganku
Egois sekali Dia
Aku akan direbutNya darimu
Namun, sebelum Dia ambil rohku
Janjiku, kita akan bermain apa saja
Sampai waktu bosan menyuruh kita pulang.


Sari Wijaya

MAKELAR



Tugasnya hanya menjadi penyambung lidah
Antara Penjual maupun pembeli
Tak ada perasaan yang menyelimutinya
Anda pikir saya makelar?
Bukan saya bukan makelar
Saya hanya menolong
Tak berharap uang komisi
Apalagi sebungkus nasi
Tidak, saya bukan makelar
Saya hanya menolong
Jika itu hanya pandangan anda
Saya mohon jangan jadi omong kosong
Karena saya bukan makelar

                                                   By: Sari Wijaya                                                                             
3 November 2010

TIGA

“Aku melihat setelah dua, aku membaca setelah dwi, dan aku merasakan keganjilan”



Ini kali kedua aku Trauma. Entah, bentuk wujud phobia atau de javu masa lalu. Mungkin saja benar, atau ini hanya akumulasi rasa yang dahulu tak sempat terselesaikan. Dengan cara sederhana aku mencintainya. Sedikit demi sedikit hingga berujung rasa sampai tertutup dinding yang tinggi dan sepertinya tak sanggup aku memanjatnya.

                Semua berakhir di angka tiga. Dan berakhir di tiga belas hari. Apa artinya tiga jika dibanding dengan masa lalu itu? Tiga memang sangat menyerupai masalalu. Masalalu yang sampai saat ini belum dapat aku lupakan. Aku sudah tak dapat merasakan apapun ketika disakiti, karena sakitnya pun tak mungkin bisa dibeli ataupun diecer di pasar-pasar becek itu. Apa? memang rasa ini barang? yang siapapun bisa membelinya secara obral. 

                Tiga, mungkin tak mengerti apa maksudku dan tak mengerti apa inginku atau mungkin aku yang kurang mengerti inginnya. Aku hanya memberitahu bahwa aku belum memberikan semua inginnya, karena aku pikir butuh waktu untuk yakin bahwa dia benar-benar tidak seperti masa lalu itu.

sms
tiga         : aku sayang kamu kok ndud, kita saling terbuka ajah ya dud, ngertiin aku yah dud.

                Aku tak mengerti arti kata “sayang”, apalagi jika kata “sayang” mulai ditunjukkan. Apa benar haruskah aku menyayangi dengan segala bentuk pertunjukkan yang kental dengan eksistensi rasa ini? Apakah perlu ku tunjukkan?

sms
tiga         : Ok, aku gak akan paksa kamu lagi kalau emang kamu gak mau cium ataupun peluk. 

                Apa yang salah? Aku pikir “sayang” itu berada di hati dan jiwa. Tidak untuk ditunjukkan dalam bentuk sentuhan pun tak masalah bagiku. Kenapa harus diperdebatkan?

sms
tiga         : Hubungan kita sampai sini ajah

                Dan inilah akhir dari pertanyaanku. Jiwa itu telah merasuk dan menuntutku mengulang masalalu yang dahulu tak pernah mengerti diriku. Jenuh.  Mungkin itu alasannya. Tak ada yang indah selain melengkapi cinta dengan sentuhan pikirnya. Apakah itu penting? Cinta tak butuh materi cinta tak butuh balasan cinta tak butuh alasan dan cinta tak butuh pengertian. 

                Mungkin aku adalah penganut cinta 100%, tetapi apakah mungkin aku akan menjadi wanita yang bodoh 100% ? Aku rasa jawabannya tidak. Ini memang  rasa, dan tak akan bisa dibawa masuk dengan logika, serasional apapun. Namun, sekali lagi apakah harus ku tunjukkan “sayangku”? 

sms
Tiga        : Gak usah ganggu aku lagi.

                Sangat jelas. Ini sangat menggangguku bahkan mengusik rasaku. Aku sudah bilang ini rasa bukan logika. Tak bisa aku menyuruhnya berhenti dari aktivitasnya sehari-hari. Mungkin jika rasa adalah robot, maka aku akan menekan tombol Off agar berhenti semua rasa ini. Apakah benar kenginan bertingkah laku didasari dengan rasa? Apakah memang ini dinilai wajar? Aku rasa tidak. 

                Ini mulai tidak adil, perkenankanlah aku si penganut rasa mengungkapkan maksudku. Masalalu telah membuatku terluka, karenanya aku terluka dan tak ingin merasakan cinta lagi. Kemudian, Tiga muncul dengan pesonanya. Aku tak ingin pertanyakan keberadaannya tetapi hanya mulai bertanya tentang rasa setelah keberadaannya. Bak, awan yang bergulung-gulung luka itu mulai tertutup dan sembuh walaupun aku rasa ini belum terlalu kering. 

                Kemudian Tiga, menghancurkannya kembali dengan alasan yang sama dengan masa laluku itu, yaitu tak ada rasa yang bisa dirasakan. Apakah ini adil? Awalnya sudah ku katakan padanya bahwa aku tak bisa memberikan sentuhan apapun. Tapi, sekali lagi apakah harus ku tunjukan rasa ku? Sungguh, aku rasa tidak.  Coba lihat jauh lebih dalam rasaku! Aku tidak melihat semua rasa dari ruang waktu ataupun bentuk nyata. Karena pikirku, aku bisa melihat rasa dari balik sendi-sendi tempat yang absurd sekalipun.

                Tiga. Aku rindu akan kehadiranmu. Namun, aku mencoba melepaskan segudang rasa. Masih teringat tanggal 13 Februari merupakan awal dan hanya seumur 13 hari aku merasakan semua bersamamu. Keganjilan pun selalu muncul dalam kisah ini. Masalalu ku yang terdahulu sudah memperingatkanku untuk memproteksi diriku. Dia muncul seperti bentuk renkarnasimu. Aku takut. Karena setiap bayangnya kental mempengaruhi setiap hidupku. 



                Andai kau dapat membaca setiap rasa yang aku rasakan, kau akan mampu melihat sebuah ketulusan yang sepatutnya tak bisa kutunjukkan. Ku bebaskan kau, sebagai wujud apresiasi rasaku yang total. Karena sampai kini, aku tak mampu mendefinisikan ketulusan dari raut wajahmu. Aku sayang kamu Tiga. Walau pun ini tak dapat dimaterialkan dan dibakukan, tetapi ketahuilah bahwa rasaku seperti udara yang bergerak di ruang bebas. Kemanapun kau pergi kau akan menemukan rasaku itu.

Sari Wijaya

KOPI

Pahit namun butuh manis yang pas agar cita rasanya harmonis




                Memang paling menyenangkan minum kopi. Bisa sambil bercengkramah, membaca buku ataupun sambil menonton televisi. Suasana malam ini sangat menyejukkan. Kopi-kopi bertebaran di atas meja dekat dapur. Di sampingnya ada kompor masih terasa panas bekas memasak air. Pasti ayah yang baru saja menyelinap ke dapur untuk membuat kopi. Kebiasaan ayah selalu mengerjakan tugas kantornya tak kunjung selesai, maka seperti biasa ayah suka menyeduh kopi.

                Mulai besok aku yang akan membuatkan kopi untuk ayah, karena kasihan sudah 3 tahun semenjak kepergian ibu ayah selalu membuat kopi sendiri. Masih ingat ketika ibu menasehatiku, “Tiga sendok kopi dan 2 sendok gula, itu porsi ayahmu.” Ayah sangat menyukai kopi buatan ibu. Katanya rasanya sangat khas.

                Entah kenapa aku terbangun malam ini. Terpaksa aku melihat raut wajah ayah yang sangat kelelahan. Bayangkan saja, pagi-pagi betul dia harus pergi ke kantor, dan pulang sudah larut malam. Gajinya pun tak kunjung naik. Padahal dia harus membesarkan ku dan adikku. Usiaku memang sudah tidak pantas lagi dibilang remaja, tetapi sampai saat ini aku masih saja mengandalkan ayah yang terus menerus membiayai hidupku.

                Sesekali memang rumah menjadi sangat sepi semenjak kepergian ibu. Biasanya ada yang menyiapkan sarapan atau sekedar mengucapkan selamat tidur pada aku dan adikku ataupun yang dengan setia membuatkan kopi ayahku malam hari. Aku rindukan masa itu. Terkadang memang kasihan melihat adikku yang sering sekali kesepian diumurnya yang masih terbilang muda untuk kehilangan seorang ibu. Maka, aku seharusnya memang bisa membantu pekerjaan ayah setidaknya mengurus adik.

                Bentuk kesibukkan-kesibukkan ini memang membuat waktuku semakin terbagi, antara kuliah dan keluarga. Namun, aku janji pada diriku sendiri bahwa tidak akan pernah buat kecewa ayah dan adik.

                “Kak, yang dimaksud manusia sebagai makhluk sosial apa sih kak?” Tanya Reza adikku.

                “PR ?” tanyaku sambil mengetik tugas paper dari dosen di meja belajar.
                “ya,” tegasnya.

                “Manusia tidak bisa hidup sendiri pasti membutuhkan orang lain,” jawabku singkat.

                “Kalau benar Tuhan menciptakan kita sebagai makhluk sosial, kenapa ibu diambil kak?” Tanya Reza.

                “Ada yang lahir pasti ada yang mati. Ibu diambil dari kita itupun ada sebabnya, Tujuan utamanya itu adalah mati, dan kita manusia hidup hanya sebagai tempat persinggahan saja. Ibu pergi lebih dahulu dari kita, karena Tuhan merasa ibu sudah siap sampai tujuan. Ah, sudah lekas pergi tidur besok kamu terlambat sekolah,” jawabku.

                “Baiklah. Tapi seharusnya Tuhan melihat, bahwa kita semua masih membutuhkan ibu. Karena kita makhluk sosial,”

                “Tuhan punya caranya sendiri mengerti makhluk ciptaannya, dan kita tidak akan pernah tahu apa ingin Tuhan. Sepertinya tak usah aku yang memaksamu untuk tidur, kamu punya caramu sendiri untuk mengerti maksudku,” Kataku sinis.

                “Ya..ya.., aku tidur. Selamat malam.”jawab Reza kesal.
***
                Pagi ini seperti biasa, aku siapkan sarapan ayah dan adikku. Segelas Kopi untuk ayah dan dua gelas susu untuk aku dan adikku. Hari ini aku kesiangan 5 menit, jadi terpaksa aku hanya menyiapkan roti bakar bukan nasi goreng. Jika ingat kopi pasti ingat ibu. Aku tuangkan 3 sendok kopi dan 2 sendok seperti yang diajarkan ibu. Dan alhasil ayahku senang. Dia bilang kopi ini sangat pas.

                “Belajar darimana buat kopi seenak ini?” Tanya Ayah.

                “Dari ibu,” jawabku singkat dan tersenyum kecil.

                Sejenak ayah dan adikku terdiam. Aku merasa bersalah karena sudah mengingatkan kembali rasa rindu ayah pada ibu serta membuat mereka sedih.

                “Ayah berangkat ke kantor dulu,” ujar Ayah.

                “Yah, aku berangkat sama ayah yah?” pinta adikku.

                “Ya,” jawab ayah singkat.

                Bayang-bayang ibu memang tidak pernah hilang di rumah ini. Ya, kami masih sangat membutuhkan ibu. Hah.. andai Tuhan.. Argh.. apa yang ada dipikiranku ini. Tidak sepatutnya aku berpikir seperti itu. Aku pun bergegas ke kampus. Karena aku baru sadar bahwa jam tanganku sudah menunjukkan pukul 06.30 pagi. Segeralah aku pakai helmku dan menaiki motor maticku.
***
                “Hei, lara..” sapa temanku Adlil.

                “Kenapa?”

                “Sudah kerjakan RPP hari ini?” tanyanya singkat.

                “Ya, ampun. Aku lupa.” Jawabku cemas.

                Tugas Akhir mata kuliah Perencanaan Pembelajaran Sejarah (PPS) harus deadline hari ini. Aku lupa mengerjakannya. Kesibukkan ku pasca sepeninggal ibu membuat jadwal dan tugas kuliahku berantakan. Namun, aku tidak boleh mengeluh karena ini satu-satunya cara membuat orang di sekitarku bangga.

                Sebenarnya sudah tidak ada jalan lain, aku harus kerjakan tugas itu sekarang. Tak bisa menyerah saat ini. Kubuka laptopku dan mulai mengerjakannya. Namun tiba-tiba.

                “Ra, aku minta maaf,” ucap Dinda teman sekelasku tiba-tiba.
                “Maksudnya apa? Aku gak ngerti,” jawabku singkat sambil mengerjakan tugas.
                “Kamu belum baca smsku?” tanyanya.

                “Sms apa? Ada berita lagi dari Ovi? Kabar buruk atau kabar baik? Kalau kabar buruk nanti ajah yah din, aku mau kerjain tugasku dulu, aku takut nanti terbengkalai,” tegasku.

                “Kabar buruk, yasudah nanti saja,” jawabnya menunduk dan sedikit murung.

                Pikiranku sejenak terbagi. Ada apa dengan dinda? Tiba-tiba minta maaf. Memang Dinda teman curhatku masalah cinta. Aku cerita padanya tentang laki-laki yang aku sebut kopi. Dia adalah Ovi. Namanya hampir mirip dengan kopi. Pembawaannya seperti ayah, sangat pahit (maskulin sekali) tetapi sebenarnya dialah yang membuatku tidak mengantuk setiap malam. Seperti kopi bukan. Aku sangat menyayanginya. Pernah suatu saat kita berdua ke puncak acara kampus. Yang aku rasakan saat itu sangatlah bahagia. Suasana dingin menyelimuti kami. Kami makan di saung-saung pas puncak berdua saja.

                Dia berbeda dengan laki-laki lainnya, laki-laki ini sangat menjaga kehormatan wanita. Walaupun Cuma berdua tak sedikitpun dia menyentuhku. Aku berharap aku bisa menjadi gulanya agar cita rasa kopi bercampur gula akan menciptakan rasa yang pas dan harmonis.

                Namun, sepertinya hal itu hanya kelabu. Tepat jam 5 sore, Dinda mengirimkan sms dan membuat sebuah pengakuan bahwa dirinya telah resmi menjadi pacar Ovi. Tak bisa ku tahan airmata ini. Semua mengalir dengan alami tanpa ku suruh. Tak ada hentinya. Sakit sekali Tuhan. Andai kau tahu rasa itu. Sudah 3 semester aku tunggu dan rela memperjuangkan cinta Ovi. Namun, sama sekali tak ada hasil. Egoku berkuasa dan tanpa berpikir menyalahkan Dinda. Subjektifku bermain. Hilang arah. Tak menerima keadaan dan memutuskan pergi dari ruang perkuliahan.
                Ovi bukan hanya masuk tataran ide. Tapi perjuanganku telah mencapai praksis bukan sekedar teori. Dia selalu mendengarkan keluh kesahku, namun hari ini aku kehilangan cinta sekaligus persahabatannya. Aku kalah di medan perang. Sejarah mencatat kekalahan diriku hari ini. Aku belajar masak ataupun sedikit berpakaian sangat feminim semua karena Ovi. Hah..kalau sedang seperti ini, ingin meminta saja kepada Tuhan agar aku dipertemukan ibu. Namun, tidak bisa aku tak kuasa. Ini kehendak Tuhan. Aku hanya bisa menulis skenario dan Tuhan yang memutuskan sejarahku.

                Permainan apa ini, semua rasa seakan kabur. If this is your game, you’re the only one who make the rules. Berharap malam ini aku dipertemukan ibu dalam mimpi.
***
                Aku terbangun, kemudian melihat ibu di sampingku. Namun, bibirku kelu tak mampu berucap. Senyum ibu sumringah dan berkata.

                “Kopi itu 3 banding 2, ayah 3 dan ibu 2. Rasanya akan selaras. Mungkin kamu akan mengerti. Belum tentu kamu akan menjadi 2 pada selarasnya kopi. Mungkin kamu menuangkan gulanya bukan 2 tetapi lebih dari dua, sehingga rasa kopinya tidak terasa. Atau mungkin bukan kamu. Semoga kamu bisa dewasa”

                Seketika ibu menghilang di gelapnya malam. Menghilang jauh-jauh di kedalaman. Dan meninggalkan satu titik yaitu cahaya kecil yang terbang tinggi ke langit.

                Aku pun terbangun, ternyata Tuhan mengirimkan ibu dalam mimpiku. Terimakasih Tuhan. Tapi apa maksud ibu aku tak mengerti. Sudahlah nanti saja aku pikirkan, malam ini aku terbangun rasanya tak bisa ku pejamkan mata kembali. Pesan ibu membuat rasa kantukku buyar. Lebih baik aku membuat secangkir kopi dan mulai membaca buku hari ini. Banyak sekali buku-buku yang kubeli tetapi tak satu buku pun ku sentuh.

                Segera ku beranjak ke dapur, dan membuka toples meletakkan 3 sendok kopi dan 2 sendok gula seperti pesan ibu. Ku tuangkan air hangat dan kuaduk searah putaran jarum jam secara perlahan. Kucicipi dan kurasakan rasa setiap hisapannya. Memang sangat terasa kopi dan manisnya pas. Nikmat sekali. Aku terpikir sejenak. Jika ayah adalah kopi maka ibu adalah gulanya. Aku sadar ayah dan ibu pas. Sedangkan aku dan Ovi belum tentu. Ovi adalah kopi dan aku bukan gulanya sehingga rasanya tak seharmonis kopi buatan ibu. Atau memang teori 3:2 itu benar. Aku menuang 3 sendok Kopi, tetapi aku berlebihan menaruh gulanya, sehingga cita rasa kopinya tak terasa. Mungkin itu maksud ibu, aku berlebih mencintai Ovi sehingga rasa kopinya hilang dan malah terlalu manis. Atau mungkin memang benar aku harus siap berproses jadi gula, karena aku masih menjadi tebu. Hari ini memang Dinda mungkin pilihan Tuhan yang sudah siap menjadi gula bukan aku.

                Terimakasih Tuhan, telah mengirimkan sebuah jawaban dari setiap pertanyaan, kesedihan dan mengirimkan ibu yang super hebat. Seharusnya aku letakkan cintaku, rasaku sesuai proporsinya. Mungkin benar pesan ibu bahwa aku harus menjadi dewasa dahulu sebelum mengerti apa tujuan Tuhan. Kehilangan ibu mungkin mengajarkanku untuk lebih bisa dewasa dan mandiri. Dan tak seharusnya menyalahkan Dinda ataupun Ovi. Karena mungkin benar kalau cinta tak pernah salah. Aku ikhlas Tuhan.
Sari Wijaya