Dunia ini memproduksi banyak
topeng-topeng
Langit sudah gelap. Sepertinya enggan dan
lelah untuk berkedip ataupun membuka sedikit saja, agar cahayanya sampai ke
tempat ini. Waktu bekerja mungkin harus tetap dimulai. Waktu tak mampu dilipat,
diperkecil seperti rumus pecahan di matematika. Waktupun tak kunjung
beristirahat dari peradabannya. Ia seolah tetap bersemangat berputar, terus
menjajaki kehidupan. Bagaimana mungkin saya berada di tempat yang benar-benar
tak saya sukai. Ya, memang terpaksa tetapi saya berusaha. Tujuannya jelas,
lingkungan sekitar memaksa saya.
Goblok benar manusia macam saya,
tak pernah memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Saya juga plin-plan dan bingung
harus memulai dari mana, ke mana dan ending
nya harus seperti apa. Maka, semuanya buyar terasa. Creep, absurd, dan freak. Itu
wujud rupa saya. Memang seharusnya ke neraka, orang-orang macam saya. Saya tak
mampu berbuat apa-apa. Tak mampu melangkah kemana saya. Dari lahir hingga kini.
Mungkin orang-orang di sana
sesuka hati jijik dan mencemooh saya. Saya tahu. Tapi kenapa tak coba tanyakan
Tuhan saja mengapa akhirnya saya berdiri di tempat ini dengan tiada guna
sedikitpun.
“Sedekahnya,” setiap hari hanya
kata-kata itu yang saya ucapkan.
Saya tak seberuntung si anak
Ruhut Sitompul yang ulang tahunnya dirayakan walaupun dia cacat. Saya terbuang.
Malah kerap saya dianggap berpura-pura. Jujur saya malu. Saya merasa tiada
berguna. Persetan sekali dengan lembaga sosial yang setiap hari raya memberikan
sedekah. Itu pun tak cukup. Saya bukan tak ingin menerimanya. Tapi saya tak mau
mengakui kebaikan dibalik semuanya. Jangan salahkan saya. Coba tanyakan Tuhan,
mengapa saya diciptakan begini adanya. Siapa yang mau disukai, dicintai dengan
manusia yang rupanya tak karuan seperti ini. Bahkan, ibu pun malu punya anak
seperti ini.
“Maaf aja pak,” sambil berlalu.
Penolakan secara halus. Siapa
yang tak takut melihat rupa seperti ini. Setiap hari berlalu lalang hanya
meminta. Tiada guna. Tiada daya. “Cinta itu gak mandang fisik kali, cinta itu mandang
hatinya,” kata seorang penumpang wanita dengan sok bijaksana menasehati
temannya yang sedang sedih karena baru saja putus dengan kekasihnya. Munafik
benar nasihat itu, tidak ada tulus yang membumi, semua hanya akal-akalan sang
pendongeng kepada penonton yang terpukau dengan drama korea ataupun telenovela.
Kalau memang itu ada,
keberuntunganlah yang bermain. Ada yang dilihat dari si serba kekurangan ini
dengan kelebihan yang ia punya. Omong kosong jika semuanya dinyatakan “tulus”.
Saya bukan figuran di dunia ini. Bisa diberi , dikasihani oleh si sempurna demi
label yang semakin lama semakin mencitrakan si sempurna menjadi sangat-sangat
sempurna. Siapa yang tak mau memberi? Saya pun mau memberi. Tapi memberi apa?
Tak ada.
Cerita jaman purba saja selalu
menghadirkan si penguasa kapak perimbas yang mampu berburu hewan liar dengan
leluasa. Lalu? Manusia macam apa saya ini? Kenapa seakan hanya dianggap
binatang, yang kasihan maka semua orang memberi makan. Saya tak pernah
tengadahkan tangan. Saya pun berusaha berdiri sekuat tenaga agar tak meminta.
Namun, kapan itu terjadi saya tak tahu. Malah seolah kehadiran saya dibuat
proyek si sempurna. Saya dijadikan ajang bakti sosial, saya dibuat tak berdaya,
saya dianggap lemah.
Sekali lagi kenapa tak tanyakan saja
kepada Tuhan, apa mau Dia? Siapa yang tak ingin mendapatkan cinta? Siapa yang
tak ingin pula memberi? Siapa yang tak ingin juga berdiri?
Dogma selalu saja berfirman,
niscaya tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Seolah saya tercipta
agar si penolong dicitrakan si baik, dan saya sebagai si kurang baik. “Lakukan apa yang bisa kamu lakukan” hanya
itu-itu terus yang terucap dari mulut-mulut omong kosong yang meninggikan
motivasi-motivasi tetapi kemudian hanya tersenyum pura melihat kondisi saya.
Semangat saya tak
akan pernah luntur, tak akan pernah berhenti bergeming di hati saya. Namun,
dimana hati nurani semua orang ini. Saya tak perlu belas kasih. Karena saya
diciptakan bukan untuk meminta ataupun mengemis. Seenaknya saja menihilkan
saya, mengadakan bakti sosial demi citra mereka. Sekali lagi, saya diciptakan
bukan untuk meminta.
Si cacat tetaplah
si cacat. Sekolah-sekolah itu yang menjanjikan si cacat ini untuk dapat hidup
lebih baik sangat mahal untuk dimasuki. Bahkan, sebuah universitas yang juga
menjunjung nilai-nilai kemanusiaan tak mampu menyediakan apapun tehadap si
cacat ini. Sekali lagi, Tuhan bukan menciptakan saya sebagai seorang peminta
dan pengemis ataupun ladang bisnis. Hanya segelintir orang yang mampu saja yang
dapat bersekolah ataupun kuliah di tempat itu. Saya tak punya apa-apa. Hanya
badan yang terisi roh saja.
Tuhan tak pernah
menceritakan guna saya dilahirkan. Tiba-tiba saja saya terbuang. Kemudian
kembali terbuang oleh lingkungan. Jika, fisik tak pernah menentukan keberadaan
manusia. Mungkin, hari ini saya tak ada di tempat ini. Meminta karena lapar.
Bekerja apa? Tak ada yang mampu saya kerjakan. Tak ada tangan, hanya sepasangng
kaki yang tersisa. Berjalanpun hanya dengan tongkat yang diberikan orang.
“Kerja apa saja,
asal tidak mencuri,” kata seorang teman
Mencuri apa? Dengan
apa? Pikir saya.
“Jangan pula
mengemis, kamu kan bisa mengamen,” sekali lagi teman tersebut berkata
Mengamen apa? Suara
saya tak pernah indah didengar. Saya bukan seorang anak artis yang walaupun
suaranya tak merdu, tetap bisa eksis di televise dengan domplengan nama orangtuanya. Saya juga tak ingin menjadi sekedar
pengamen yang hanya simbolik menyanyi,kemudian pergi setelah diberi seribu.
Saya bukan datang untuk meminta. Saya si cacat yang miskin dan terbuang oleh
keluarga saya. Tak mampu berkontribusi di dunia ini, memang terlihat lemah,
tetapi tak ada yang ingin dikatakan lemah.
Bahkan, Negara ini
saja tak mampu menjawab keinginan saya. Mereka hanya sibuk dengan citra,
politik mereka, dari mereka, untuk mereka dan oleh mereka. Konstitusi hanya
symbol. Simbol oligarki. Hanya tekstual menjamin hak-hak saya, tetapi larut
dalam praksisnya. Maka, tak ada yang berani menjawabnya. Hanya, sekedar
berkutik di ruang rapat, ruang kuliah, dan ruang-ruang intelektual dengan
bertemakan “saya”. Sehabis itu mereka berputar-putar dengan wacana. Sampai
akhirnya pun hanya berhenti di wacana.
…Terimakasih…
Sari Wijaya