Suara
dentuman kereta api menandai perjalananku hari ini. Langit sudah sedikit
mendung, menandakan hujan akan segera mengguyur perjalanan. Pertemuan terakhir
di dalam kereta api membuatku sedikit bingung kenapa harus tempat ini. Aku yang
sedari tadi duduk termangu hanya memasang telinga mendengarkan dari awal hingga
akhir alasan demi alasannya.
Matanya
menatap nanar memberikan suatu dercak kesedihan. Aku jelas tak kuasa menahan
tangis. Aku ingat bagaimana kita berjalan merangkak untuk bisa mencapai sebuah
tujuan yang kita inginkan. Umur kita yang terbilang masih sangat muda, 21 tahun
sudah berpikir untuk serius adalah sebuah kemustahilan belaka.
Di
akhir September 2012, dia menatapku penuh dengan kesedihan. Menggenggam
tanganku dengan penuh rasa bersalah. Sedangkan, aku hanya tertunduk meneteskan
air mata. Aku kecil di atas kursi. Sesekali melirik ke langit-langit atap
menahan tangis. Namun, aku sadar air mata itu akan tetap jatuh.
“Maafin
aku may,” ucapnya seraya memelukku erat.
“Aku
sayang sama kamu,”ucapku sambil menangis tersedu-sedu.
Terkadang
aku merasa ada part hidupku yang dibuat Tuhan terasa tak adil. Semenjak ke
sepuluh lelaki terdahulu yang lain tak pernah ku perlakukan se special ini,
kini aku harus patuh dan ikhlas dengan keadaan. Alasan yang tak pernah bisa
ditolelir memang. Orang tua darinya tak pernah setuju denganku. Cukup klasik
menanggapi masalah restu, tetapi alasan ini merupakan alasan yang memiliki
polemik setiap musim.
Kita
berhenti di gerbong Sembilan. Sebuah angka yang cukup lama untukku. Aku memilih
cinta bukan karena melihat kau siapa, tetapi karena caramu memperlakukanku
seperti apa. Dan, kamu berhasil menjadikanku wanita seutuhnya. Sifatku yang
tomboy dan tak beraturan tidak membuat cintamu berkurang. Namun, ini terjadi
lagi di gerbong Sembilan. Sama seperti yang dahulu.
Dengan
kehampaan aku pulang. Ku hapus airmataku malam ini, aku tak ingin mengumbarnya
di depan kedua orang tuaku. Sampai akhirnya aku hanya berbaring di atas tempat
tidur menangis kemudian menghapus air mata, begitu seterusnya. Hubungan ini,
begitu aku banggakan di depan kedua orang tuaku, sahabat dan kerabat. Hingga
akhirnya aku menceritakan pada ayahku perkara ini. Dia terlihat kesal dan
merasa direndahkan. Maka, sudah habis perkara aku tak akan pernah diijinkan
kembali dengannya. Terlebih lagi hujatan semua sahabatku yang menganggap bahwa
dia adalah laki-laki pengecut.
“Lo,
tau enggak ini alibi dia ajah. Memang kalian tuh sudah mau nikah yah.
Inget, kalian itu masih 21 tahun. Alasannya klasik banget masalah fisik lo,
emang dia seganteng apa sih? Nanti juga ada masa nya kalo lo udah lulus kuliah,
kerja dan mempercantik diri.” ketus Dira.
Tak
akan tahan dengan semua perkataannya. Hingga hari ini, telingaku seolah kebal
jika semua orang menghardiknya. Dalam hatiku masih menangis. Meski kita sudah 8
bulan putus tetapi tetap saja semua tak akan mudah hilang.
Cinta tak mungkin berhenti secepat
saat aku jatuh hati (tangga)
Alunan
musik mengiringi ingatanku. Kini semua kenangan seakan dipaksa keluar dari
otakku. Semua akses ditutup untukku. Darimana aku harus mulai perjalanan lagi?
Sedang semua kenanganmu masih berada di sini. Di setiap folder laptopku masih
kuarsipkan rapih tentangmu. Baju couple kita berdua dengan desain aneh itu,
masih aku simpan di lemariku. Sebuah novel tentang perjalanan cinta kita juga
masih ku simpan dalam folder baik-baik. Tak akan pernah kuhapus sampai kapan pun.
Karena menunggumu adalah sebuah keseriusanku.
Malam
ini, di gerbong Sembilan, bulan Sembilan di detik-detik hari kelahiranku. Aku
mengalami kejadian serupa saat orang terdahulu pun berhenti di gerbong ini. Ku
pikir gerbong Sembilan ini mampu mengantarkan ku dengan mu sampai pada tujuan.
Namun, ternyata gerbong inilah satu-satunya gerbong yang tak layak dan tak ada
penumpang untuk singgah. Hingga akhirnya kereta api terus melaju dan
mengharuskan aku berjalan tanpamu. End