Minggu, 13 November 2011

TIGA

“Aku melihat setelah dua, aku membaca setelah dwi, dan aku merasakan keganjilan”



Ini kali kedua aku Trauma. Entah, bentuk wujud phobia atau de javu masa lalu. Mungkin saja benar, atau ini hanya akumulasi rasa yang dahulu tak sempat terselesaikan. Dengan cara sederhana aku mencintainya. Sedikit demi sedikit hingga berujung rasa sampai tertutup dinding yang tinggi dan sepertinya tak sanggup aku memanjatnya.

                Semua berakhir di angka tiga. Dan berakhir di tiga belas hari. Apa artinya tiga jika dibanding dengan masa lalu itu? Tiga memang sangat menyerupai masalalu. Masalalu yang sampai saat ini belum dapat aku lupakan. Aku sudah tak dapat merasakan apapun ketika disakiti, karena sakitnya pun tak mungkin bisa dibeli ataupun diecer di pasar-pasar becek itu. Apa? memang rasa ini barang? yang siapapun bisa membelinya secara obral. 

                Tiga, mungkin tak mengerti apa maksudku dan tak mengerti apa inginku atau mungkin aku yang kurang mengerti inginnya. Aku hanya memberitahu bahwa aku belum memberikan semua inginnya, karena aku pikir butuh waktu untuk yakin bahwa dia benar-benar tidak seperti masa lalu itu.

sms
tiga         : aku sayang kamu kok ndud, kita saling terbuka ajah ya dud, ngertiin aku yah dud.

                Aku tak mengerti arti kata “sayang”, apalagi jika kata “sayang” mulai ditunjukkan. Apa benar haruskah aku menyayangi dengan segala bentuk pertunjukkan yang kental dengan eksistensi rasa ini? Apakah perlu ku tunjukkan?

sms
tiga         : Ok, aku gak akan paksa kamu lagi kalau emang kamu gak mau cium ataupun peluk. 

                Apa yang salah? Aku pikir “sayang” itu berada di hati dan jiwa. Tidak untuk ditunjukkan dalam bentuk sentuhan pun tak masalah bagiku. Kenapa harus diperdebatkan?

sms
tiga         : Hubungan kita sampai sini ajah

                Dan inilah akhir dari pertanyaanku. Jiwa itu telah merasuk dan menuntutku mengulang masalalu yang dahulu tak pernah mengerti diriku. Jenuh.  Mungkin itu alasannya. Tak ada yang indah selain melengkapi cinta dengan sentuhan pikirnya. Apakah itu penting? Cinta tak butuh materi cinta tak butuh balasan cinta tak butuh alasan dan cinta tak butuh pengertian. 

                Mungkin aku adalah penganut cinta 100%, tetapi apakah mungkin aku akan menjadi wanita yang bodoh 100% ? Aku rasa jawabannya tidak. Ini memang  rasa, dan tak akan bisa dibawa masuk dengan logika, serasional apapun. Namun, sekali lagi apakah harus ku tunjukkan “sayangku”? 

sms
Tiga        : Gak usah ganggu aku lagi.

                Sangat jelas. Ini sangat menggangguku bahkan mengusik rasaku. Aku sudah bilang ini rasa bukan logika. Tak bisa aku menyuruhnya berhenti dari aktivitasnya sehari-hari. Mungkin jika rasa adalah robot, maka aku akan menekan tombol Off agar berhenti semua rasa ini. Apakah benar kenginan bertingkah laku didasari dengan rasa? Apakah memang ini dinilai wajar? Aku rasa tidak. 

                Ini mulai tidak adil, perkenankanlah aku si penganut rasa mengungkapkan maksudku. Masalalu telah membuatku terluka, karenanya aku terluka dan tak ingin merasakan cinta lagi. Kemudian, Tiga muncul dengan pesonanya. Aku tak ingin pertanyakan keberadaannya tetapi hanya mulai bertanya tentang rasa setelah keberadaannya. Bak, awan yang bergulung-gulung luka itu mulai tertutup dan sembuh walaupun aku rasa ini belum terlalu kering. 

                Kemudian Tiga, menghancurkannya kembali dengan alasan yang sama dengan masa laluku itu, yaitu tak ada rasa yang bisa dirasakan. Apakah ini adil? Awalnya sudah ku katakan padanya bahwa aku tak bisa memberikan sentuhan apapun. Tapi, sekali lagi apakah harus ku tunjukan rasa ku? Sungguh, aku rasa tidak.  Coba lihat jauh lebih dalam rasaku! Aku tidak melihat semua rasa dari ruang waktu ataupun bentuk nyata. Karena pikirku, aku bisa melihat rasa dari balik sendi-sendi tempat yang absurd sekalipun.

                Tiga. Aku rindu akan kehadiranmu. Namun, aku mencoba melepaskan segudang rasa. Masih teringat tanggal 13 Februari merupakan awal dan hanya seumur 13 hari aku merasakan semua bersamamu. Keganjilan pun selalu muncul dalam kisah ini. Masalalu ku yang terdahulu sudah memperingatkanku untuk memproteksi diriku. Dia muncul seperti bentuk renkarnasimu. Aku takut. Karena setiap bayangnya kental mempengaruhi setiap hidupku. 



                Andai kau dapat membaca setiap rasa yang aku rasakan, kau akan mampu melihat sebuah ketulusan yang sepatutnya tak bisa kutunjukkan. Ku bebaskan kau, sebagai wujud apresiasi rasaku yang total. Karena sampai kini, aku tak mampu mendefinisikan ketulusan dari raut wajahmu. Aku sayang kamu Tiga. Walau pun ini tak dapat dimaterialkan dan dibakukan, tetapi ketahuilah bahwa rasaku seperti udara yang bergerak di ruang bebas. Kemanapun kau pergi kau akan menemukan rasaku itu.

Sari Wijaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar