Minggu, 13 November 2011

Mencari Ujung



Mari berkreasi, mari berutopis ria, mari mengudara. Mimpi ini mungkin misteri. Entah apa tujuan dari setiap kejadian. Menari kemudian menangis. Lahir kemudian terbunuh. berapi kemudian basah terguyur. Lebih tepat dikatakan drama. Aku pun tak tau sebagai apa dan siapa dari sandiwara ini. Semua kabur dan terhempas seketika di udara. Manusia-manusia berjabat kemudian bercerai berai. Kadang lakonku periang tapi kemudian seketika murung. Apakah benar semua lakon tercipta seperti itu? Aku tak tahu, karena dalang tak pernah memberi tahu. Yang dia tahu kami para wayang harus menuruti setiap skenario tanpa protes.

Malam ini mungkin lakonku sebagai seorang pelacur. Bagaimana tiba-tiba aku dihadapkan di sebuah ranjang empuk, kamar hotel nomer 213. Tak ada sehelai benang pun melingkari tubuhku. Argh.. rasa apa ini aku tak tahu. Lidah itu membuatku menggelinjang tak karuan. Aku di bawah alam sadar. Ya, benar. Aku menikmati ini, tapi kenapa lakon senikmat ini, wajahku harus tampak sedih di skrip skenario sang dalang. Rasanya sulit sekali. Mempelajari adegan setiap adegan yang kujalani. Yang aku tahu hanyalah hasrat yang memuncak namun, wajah senyum pasi yang keluar dari lakonku.

Lantas bagaimana dengan wayang lainnya, kenapa laki-laki ini dapat tertawa lepas dan menikmati setiap aroma keringat tubuhku. Sementara aku hanya dapat tersenyum paksa. Apa mau dalang hari ini? Tak ada guna jua bertanya padanya. Dia hanya bangga jika penonton menikmati adegan-adegan.

Tiba-tiba aku terbangun, kemudian terpaksa aku seperti berenang di dalam air berwarna merah. Kemudian aku melihat dua tangan yang membantuku keluar. Tangan besar sekali, orang dewasa dengan disarungi seperti bahan karet putih. Aneh sekali lakonku hari ini. Aku kemudian dibungkus kain.  Kemudian seingatku aku diletakkan di sebuah tempat sampah. Di sini sangat bau busuk, anginnya pun sangat kencang, balutan kain ini pun tidak dapat menutupi rasa dinginnya. Dalang malah menyuruhku untuk menangis sekencang-kencangnya.

Dia berkata,” menangislah seperti orang yang sangat kedinginan dan kehausan, seperti menginginkan susu ibu”. Ya, aku baru sadar aku adalah bayi kali ini. Tapi, kenapa aku harus berada di tempat sampah? Apakah aku sudah mati? Apakah aku tidak berarti bagi ibuku? Lantas,untuk apa aku dilahirkan? Apakah aku tidak bisa protes terhadap semuanya? Aku harus menjelaskan ada yang salah dari diriku. Tapi, kenapa dalang tak memperkenankanku untuk berbicara, dia hanya membolehkanku untuk menangis sekencang-kencangnya. Apa tidak ada hak jawab atau sebatas pledoi pada diriku ini. Sialan. Aku tak suka berada di situasi ini.

“maling..maling..” teriak semua orang menunjuk ke arahku. Argh,, apa-apaan ini, dalang itu mulai saja selalu seenaknya, aku terpaksa berlari, terus berlari. Seketika aku harus mencari tempat bersembunyi. Aku maling kali ini. Yang aku tahu aku adalah maling, tak tahu kenapa. Mungkin karena lapar. Ya, memang perutku sangat lapar. Terus menerus berbunyi dan sampai gemetar semua tubuhku. Apakah tak bisa hari ini aku diberi makan gratis dahulu, kemudian aku akan lanjutkan lakonku ini.

“Ayolah dalang,” pintaku. Hah, tapi tetap saja, waktu tak bisa diberhentikan. Aku harus tetap berlari, walaupun segala energiku telah terkuras habis. Sudahlah aku hentikan saja pelarianku ini, siapa tahu dalang merasa kasihan melihatku berlari kemudian dia memberhentikan sejenak waktu.

“Maling..maling..” suara itu semakin keras. Sial. Dalang tetap melanjutkan sandiwara ini. Aku tak kuasa, dan seketika tak sadarkan diri ketika semua lengan mengepal memukuli setiap tulang yang dibungkus kulit ini. Aku penuh darah, hari ini mandi darah dan semua terlihat gelap. Sesaat aku hanya ingat bahwa aku merasa lapar dan menjambret kalung  wanita paruh baya yang sedari tadi ku perhatikan terlihat memamerkan perhiasannya yang banyak kepada teman-teman wanita lainnya. Sepengetahuanku wanita itu istri pejabat yang baru saja diangkat menjadi menteri. Aku pikir, kalau hanya kehilangan kalung, uangnya pun tidak akan habis dan masih dapat membeli kalung yang sama.

Namun, aku baru ingat, bahwa lakonku hari ini sebagai penarik becak. Hari ini harus pontang panting mencari uang, karena anakku yang nomer tiga harus membeli susu, dan anakku yang nomer dua harus bayar uang gedung masuk SMA. Sementara aku sangat lapar hari ini. Yah, hanya itu jawaban dari setiap keresahan masalahku. Ah, aku benci diberi lakon yang aneh-aneh.

Tapi, apakah benar setiap lakonku aneh? Sepertinya tidak. Aku anggap ini sebuah kewajaran. Ketika, aku dilanda lapar maka aku akan makan. Pelacur, anak haram dan penarik becak. Yah, sangat melelahkan setiap lakon. Tinggal menunggu esok, sang dalang memintaku untuk jadi apa lagi. Aku tak tahu perjalanan esok hari. Apakah pembicaraanku ini juga sebagian dari mimpiku? Ataukah ini ada di dunia nyata. Jika, ini dunia nyata, kenapa di sini sangat gelap. Aku tak bisa bernapas. Hari ini aku tahu bahwa ini bukan mimpi, aku telah mati karena balutan kafan ini berkata demikian. Dalang, apakah ini akhir? Ataukah masih ada perjalanan baru lagi esok hari. Aku tak tahu.
Sari Wijaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar