Jumat, 17 Agustus 2012

Prolog


Kepadamu, aku menyimpan cemburu dalam harapan yang tertumpuk oleh sesak dipenuhi ragu. Terlalu banyak ruang yang tak bisa aku buka. Dan, kebersamaan Cuma memperbanyak ruang tertutup. Munkin, jalan kita tidak bersimpangan. Ya, jalanmu dan jalanku sama. Meski, diam-diam, aku masih saja menatapmu dengan cinta yang malu-malu. Aku dan kamu, seperti hujan dan teduh. Seperti itulah cinta kita. Seperti menebak langit abu-abu. (Novel Hujan Teduh).


Pertemuan yang sangat singkat di balik perkaraku akhirnya mampu mempertemukan dua rasa kita. Tuhan selalu mempunyai cara untuk mempertemukan dan memisahkan. Tak ada yang sangat mengesankan daripada pertemuan dan perjalanan di tahun ini. Berawal dari kegalauan aku menemukanmu. Setiap tikungan yang kita singgahi memiliki banyak kenangan yang tak mungkin pernah terhapus. Kau sebagai penemu, kau sebagai penjelajah, dan kau sebagai pemenang. Penemu atas rasaku, penjelajah atas segala keseharianku, dan Pemenang atas hatiku. 

Kita pernah bermimpi untuk mampu mencapai apa yang kita tuju, bukan secara individu melainkan secara kolektif. Dengan semangat liberte, egalite dan Frahternait kita membuat visi misi ke depan untuk mencapai sebuah konsep besar. Generasi Santosa dan Wijaya serta kesuksesan sebagai seorang anak manusia dan mahasiswa tentunya. Perjalanan cinta kita adalah seni. Erich Fromme benar bahwa ini bukan sekedar rasa sebagai sifat naluriah kebinatangan seorang manusia, tetapi aku mengakuinya bahwa rasa ini penuh nilai estetika. 

Walaupun kadang diterjang berbagai halangan, baik di pihakmu ataupun di pihakku, tetapi aku dan kamu yakin bahwa bahagia tercipta atas perjuangan kita sendiri, bahkan Spinoza pernah berkata, bahwa Tuhan bukanlah satu-satunya dalang. 

Ini bukan akhir cinta. Aku anggap ini awal atas kesalahan masa lalumu. Masa lalumu yang sampai saat ini menghantuiku. Ketakutanku terhadapnya masih sangat melekat di rongga-rongga terakhir kali kau ucapkan kata maaf untuk kesalahanmu. Aku bukan palung rasa yang bisa menyedot semua rasamu. Aku juga bukan pula jajanan pinggir jalan yang dijual murah dan tidak higienis. Semua rasa dan perilaku yang ku berikan padamu adalah konsep besar yang aku mimpi-mimpikan dengan penuh estetika dan luxurious walaupun caraku sangatlah sederhana. 

Ini hanya selembar kertasku yang kini sudah terisi setengah warna hasil karya cipta kita berdua, dan ini belum selesai. Maka, marilah kita cari kembali pewarnanya bersama dan satu persatu kita goreskan ke kertas ini agar konsep besar gambar kita nampak indah. Jangan pernah sembunyi dari rasa, keluarkan apa yang mampu kamu ekspresikan atasku. Begitu pula aku. Karena cuma di cinta ini kita mampu berdiri merdeka dan menjadi diri sendiri. 

Aku dan kamu bagai hujan dan teduh. Seperti menebak langit abu-abu. sw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar