Kamis, 30 Agustus 2012

Pendidikan yang Dikebiri

“Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri”(Paulo Freire)

Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of Oppressed menjelaskan bahwa pendidikan menjadi jalur permanen pembebasan. Pembebasan tersebut haruslah berada pada tataran kesadaran dari penindasan dan melalui praxis mereka mengubah keadaan mereka. Kemudian proses selanjutnya adalah ketika aksi pembebasan menjadi budaya.


Indonesia yang disebutkan sebagai “Negara demokrasi” nampaknya tidak dapat memungkiri ketidakdemokrasiannya selama ini dalam dunia pendidikan. UU No.4 tahun 1963 tentang pelarangan buku telah membuktikan bahwa dalam konteks negara demokrasi, Indonesia belum mampu menjadi negara yang demokrasi seutuhnya. Pelarangan-pelarangan buku yang marak terjadi, menunjukan ketidakbebasannya mencapai sebuah pendidikan. 


Buku sebagai jendela dunia hanyalah sebuah wacana teoritis yang mengkebiri dunia pendidikan. Kasus ini membuat dunia pendidikan menghasilkan manusia-manusia yang tak berdaya kritis terhadap suatu penindasan. Konsep pendidikan seperti menjinakkan manusia bukan memanusiakan manusia, mulai terbangun. 


Beberapa buku seperti Lekra Tidak Membakar Buku, Dalih Pembunuhan Massal dan buku-buku yang bertentangan dengan pemerintahan, dilarang untuk terbit. Kasus ini seperti terjadi kembali di zaman yang disebut-sebut “reformasi”. Reformasi yang selalu disuarakan telah menurunkan rezim otoriter yaitu Orba seolah dihadirkan kembali. 


Pada Orde Baru pelarangan-pelarangan buku menyeruak sangat pesat. Segala buku yang tidak sesuai dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dilarang untuk dipublikasikan. Pemikir-pemikir kritis dikungkung oleh sebuah kata saja, yaitu rezim. Lantas apa bedanya dengan di zaman reformasi? 


Reformasi yang dinilai telah berhasil menurunkan keotoriteran sebuah rezim, menjadi titik perjuangan tak terlupakan dalam jejak sejarah Indonesia. Seperti dejavu kondisi Indonesia kini. Perbedaanya, pada era reformasi semua disusun secara halus, dikemas secara unik, dan terlihat anggun dari luar. Kata “reformasi” telah meninabobokan bangsa ini, sehingga kekritisan tidak muncul kembali, sepeninggal common enemy lengser. Buku sebagai gudang ilmu bukan lagi menjadi alat berpikir kritis untuk memecahkan teka-teki keadilan ataupun penindasan melainkan alat penghegemonian kekuasaan untuk oknum-oknum yang mempunyai kepentingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar