Selasa, 22 November 2011

Malam itu Terakhir Aku Bertemu Rosyid


Jiwa meretas di atas sendi-sendi kelaminnya
Tak ayal jauh meneropong pikiran nafsu gairah
Seperti Najis yang menyentuh dari setiap organ tubuhnya



            Amarah tidak akan pernah terungkap, jika hati dan jiwa tidak mencapai proses tertekan atau klimaks kekecewaan. Penyakit yang membuatku melepas kepergiaanya hanya untuk mendapat pelayanan biologis, membuatku hilang arah. 

            Rosyid, meninggalkanku di saat organ-organ tubuhku dihinggapi penyakit manisku menghinggapi organ-organ tubuhku, tanpa melihat sejarah indah perjalanan cinta yang telah kita rajut bersama. Kalau bukan karena tulang rusukku adalah sebagian dari tulang rusuknya tak akan aku pertahankan dirinya dulu di depan orang tuaku.

            Masih teringat ketika masa-masa SMA dulu, dia pegang tangan ini dengan erat dan meyakinkan aku bahwa cintanya padaku adalah tulus. Layaknya adam dan hawa, kami saling menyayangi. Akan tetapi, hubungan kami diketahui oleh orangtuaku. Pemikiran kolot itu membuatku menentang pemikiran mereka. 

            “Masih saja kau berhubungan dengan si anak pemalas itu jo?”

            Tak kuasa aku menjawabnya. Lebih baik aku pergi. Dan kusumpal kupingku rapat-rapat daripada harus adu mulut kelak. Hubungan yang tak direstui ini lebih berharga daripada menuruti ocehan-ocehan orang tua yang berpikiran sangat materialistis

            Darah Batak yang mengalir di darahku membuat segala larangan yang aku terima. Berbagai aturan adat selalu menuntutku. Mereka tak sudi mempunyai menantu seperti Rosyid, yang hanya berasal dari keluarga dhuafa. 

            Dan kini aku harus bertahan dengan kondisi kaki yang semakin lama membusuk. Perkawinan yang tak direstui ini tidak dikaruniai satu anak pun. Tapi, aku bersyukur setidaknya hanya akulah korbannya bukan anakku. 

            Malam itu terakhir aku bertemu Rosyid

Pria yang selama ini aku banggakan, aku nafkahi, dan aku setubuhi. Tanpa mengharapkan mas kawin, ataupun sekedar surat akta nikah. Semua itu aku pinggirkan dengan satu kata 'CINTA'. 

            Semenjak aksi kawin lari, kami berdua hidup di tengah-tengah bisingnya kota. Sebuah lingkungan yang asing bagiku. Dari pengemis, tukang asongan, tukang ngamen dan pemulung jadi satu di wilayah ini. 

Sangat ironis melihat rumah kami. Gentingnya berwarna abu-abu dari seng yang sudah karatan dan berlubang. Maka tidak heran kami sering menutupinya dengan terpal jika hujan turun. Hanya satu petak. Ruang keluarga atau ruang tamu pun tidak ada. Semuanya bertumpuk di satu ruangan. Kamar, dapur, dan ruang keluarga dicampur menjadi satu. Entah ruang apa ini. Hanya ada kasur yang dibungkus dengan spray bekas spanduk partai biru, ldi sampingnya ada lemari plastik berwarna merah dengan banyak stiker-stiker partai yang telang usang, serta satu buah kompor minyak dan alat makan. Untuk mandi saja, rasanya sulit. Aku harus pergi ke WC umum dekat rel kereta. 

Semua itu aku lakukan demi Rosyid. Hari ini aku bingung tak ingin sebenarnya aku pergi keluar untuk membeli obat masuk angin. Baru 3 hari di sini, rasanya badanku sudah tak karuan. Entah apa yang terjadi,  mungkin tubuh yangyang biasanya merasakan kasur empuk, selimbut lembutdengan udara AC yang menyejukkan tidak dapat dirasakan kembali.

Lambat laun hubungan ini mengalami perubahan. Tak ada lagi kata cinta yang terlontar ataupun saling mengayomi. Entah apa yang terjadi dengan sikap Rosyid yang berubah drastis.

“Mana, sini duit lo, gue minta!” 

Kini, Rosyid telah berani memarahiku bahkan memukulku jika aku tidak menuruti segala perkataannya. Dia menyuruhku bekerja keras menjadi pencuci baju untuk membiayai hidup. Semua itu aku lakukan demi tercukupinya pelayanan biologis.

Memang, semenjak kepunyaannya masuk ke guaku, aku menjadi seorang yang selalu haus akan hal itu. Pernah suatu ketika aku tak dapat memberikan Rosyid uang, karena majikanku telat memberikan gaji. Malam itu Rosyid tak sedikitpun menyentuhku. Bahkan aku memancingnya dengan melepaskan seluruh pakaianku, tapi tetap saja tak diindahkannya. 

Sungguh, entah rasa apa yang telah bergelayut ditubuhku ini, antara cinta ataukah hanya pemuas birahi belaka. Sempat terbesit untuk pergi keluar lalu berusaha mencari laki-laki lain sekedar pemuas nafsu. Namun, semua terbentur lagi dengan kata CINTA. Tak kuasan aku bermain di dunia luar Tak ingin aku menodai hubungan yang sudah mengorbankan semua hidupku, tiba-tiba berakhir hanya dengan perselingkuhan. 

Pada saat itu aku berpikir Rosyid pun takkan melakukan seperti yang aku pikirkan ini. Karena aku yakin Rosyid laki-laki setia walaupun kadang tetap menjadikanku sebagai budak. Dan kini, sepertinya semua telah terjawab. Tak ada gunanya lagi untuk ditangisi. Aku terkapar di kasur ini. Kakiku membengkak dan sesekali keluar nanah yang berbau busuk. Itulah, Diabetes. Akulah Joan si kaki indah yang selalu menjadi sorotan mata laki-laki. Kini, hanya terkapar meratapi nasib. Tak ada keluarga ataupun suami. Semuanya sepi tanpa ilusi. 

Rosyid menghilang. Terakhir ku dengar kabar dari tetangga sebelah, bahwa dia telah menikahi janda pemilik warteg. Pernah sesekali dia pulang, tapi hanya sekedar mengambil baju dan pergi kembali. Segala macam pertanyaan yang aku lontarkan pun hanya akan dijawab dengan kata DIAM.

Aku paksa, aku bujuk untuk bicara. Tapi, hanya tamparan yang kudapat. Dengan kondisi ku yang sangat lemah tetap tak membuatnya sedikit luluh ataupun iba melihatku. Aku seperti kehilangan arah. kehilangan tujuan. Hatiku mentok di Rosyid.

Nasib hanya tinggal nasib, aku tak dapat merubahnya. Saat ini aku butuh Rosyid ada disampingku. Melayaniku, walau hanya sekedar sentuhan-sentuhan kecil. Sentuhan itu yang nantinya akan membuatku kuat untuk bangkit. 

Namun, tidak untuk sekarang. Mata ciptaan-Nya ini, begitu kata orang tua dan agama ku katakan, saat ini telah melihat sebuah perselingkuhan. Malam itu, aku bangkit mencari tahu kemana cinta itu singgah. Kemana cinta itu singgah. Kemana cinta itu terbuai. 

Warung kopi, Zakia. Disitulah mata hatiku berhenti. Selalu ramai dikunjungi laki-laki, dari pegawai sampai supir angkutan. Tak kusangka warung Zakia, tak hanya menjual makanan. Namun, daging kenyal di antara selangkanganpun di jual. Dari harga swalayan sampai pasar obral. Begitu jijik aku melihat mereka. Laki-laki hidung belang tanpa rasa malu bergelut di setiap tubuh haus uang.

Kamar no.3. Aku lihat kelamin yang dulu menyentuhku, tubuh yang dulu memelukku, bibir yang dulu melumatku. Dengan enak menikmati daging di tempat ini. 

Rasa jijik, menyesal bahkan marah yang mendalam. Padahal telah kujunjung kesetiaan di hati ini. Relan aku dijadikan robot selama ini. Tubuh ini yang mempersatukan kami,  sampai tak kupikirkan kelas sosial yang membedakan hati antara hati. Dan hanya karena kelamin, semua terpisah tak kembali.

“Prangg….,” 

Satu botol bir mampu menjatuhkannya dengan sekejap.

            Malam itu terakhir aku bertemu Rosyid     

Sari Wijaya (Oktober 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar